(Maaf Ayat-ayatnya ga kebaca :))
Resume Bab 4
: Teks dan Otoritas
Judul Buku:
Atas Nama Tuhan, Dari Fikih Otoriter Ke
Fikih Otoritatif
Karya Khaled M. Abou El Fadl
Mata Kuliah : Kajian Kontemporer atas Hadis
Dosen
Pengampu: Prof. Dr. Suryadi M.Ag.
Nama: Ali
Muazis
NIM : 11531018
JURUSAN ILMU
AL QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS
USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UIN SUNAN
KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
A.
Biografi
Khaled M. Abou El Fadl
Khaled M. Abou El Fadl – untuk selanjutnya disebut Khaled – adalah
salah seorang pemikir hukum Islam terkemuka yang lahir di Kuwait pada tahun
1963. Sebagaimana masyarakat Arab pada umumnya, Khaled sedari kecil telah
dididik dengan ilmu-ilmu keislaman. Al-Qur’an, hadis, bahasa Arab, tafsir dan
tasawuf telah diakrabinya sejak dari sekolah pendidikan dasar. Namun, Khaled
hanya sebentar merasakan kehidupan di Kuwait. Karena, sejak umur enam tahun ia
telah belajar di Madrasah al-Azhar Mesir. Pada saat itu, lembaga pendidikan
terkemuka dunia Islam tersebut mengalami transisi paham dari moderat ke paham
Wahabi. Bahkan, pada masa remaja ia termasuk orang yang getol menyebarkan dan
membela paham Wahabi. Kelak di kemudian hari, ia berbalik arah mengkritik paham
Wahabi karena dianggapnya mengekang kebebasan berpikir dan bertindak
sewenang-wenang.
Jejak rekam pendidikan tingginya terlihat dengan meraih gelar B.A.
dari Universitas Yale pada tahun 1985. Setelah itu ia pindah ke Universitas
Pensilvania dan meraih gelar J.D. pada tahun 1989. Kemudian, ia mengikuti studi
doktoralnya di Universitas Princeton dan mendapat gelar Ph.D. dalam bidang
studi Islam. Dalam waktu yang bersamaan, Khaled juga mengambil studi hukum di
Universitas California Los Angeles (UCLA). Universitas yang disebut terakhir
kelak dipilihnya sebagai tempat membangun karir akademisnya. Dewasa ini Khaled
ditunjuk sebagai guru besar hukum Islam di UCLA dengan mengampu sejumlah
matakuliah, seperti hukum Islam, imigrasi, HAM dan hukum keamanan nasional dan
internasional.
Selain di UCLA, Khaled juga mengajar hukum Islam di Universitas
Texas dan Universitas Yale. Selain aktif mengajar di sejumlah universitas
prestisius di dunia, ia juga mengabdikan dirinya dalam bidang advokasi dan
pembelaan HAM, hak-hak imigran dan mengepalai sebuah lembaga HAM di Amerika.
Dalam rentang waktu 2003-2005 ia diangkat oleh George Walker Bush, Presiden
Amerika saat itu, sebagai salah satu anggota Komisi Intersaional Kebebasan
Beragama (International Religious Freedom). Kecuali itu, Khaled kerap
juga diundang sebagai narasumber di radio dan televisi, seperti CNN, NBC, PBS,
NPR dan VOA. Ia sering diundang menghadiri seminar dan forum diskusi di
berbagai tempat. Otoritas, terorisme, toleransi, HAM, gender dan tentu saja
hukum Islam yang merupakan spesialisasi keilmuannya dan konsennya.[1]
Bab ini diawali dengan memaparkan perbandingan pendapat yang dilakukan
Khaled dengan Arkoun (l. 1928), Arkoun menyatakan bahwa kebudayaan Islam
senantiasa didera problem berkaitan “yang tak dipikirkan” (l’impense/untought)
dan “yang tak terpikir” (l’impensable/unthingkable). Maksud dari
pernyataan Arkoun adalah ada persoalan-persoalan tertentu dalam kultur Islam
yang masih tak dipikirkan, sementara persoalan-persoalan lainnya tak terpikir.
Dengan kata lain ada sikap mental tertentu yang mencegah umat Islam untuk
menggunakan pemikiran atau menggali ide-ide tertentu. Sedangkan Khaled
menawarkan kategori “yang terlupakan”, kategori yang dimaksud yaitu persoalan
otoritas mujtahid, keberwenangan sumber dan wakil-wakilnya dan resiko
despotisme intelektual (al-istibdad bi al-ra’y) yang sudah mulai
terlupakan.
Gagasan tentang al-istibdad bi al-ra’y seringkali digunakan
sebagai sebuah kaidah bahasa hukum dan teologi yang
berarti pemaksaan pendapat tanpa otoritas yang semestinya. Dalam konteks
historisnya, ungkapan tersebut telah digunakan sebagai amunisi bahasa untuk
menghadapi kelompok yang dipandang menyimpang dan sektarian.
Selanjutnya, Khaled menjelaskan istilah otoritarianisme, otoritarianisme
adalah tindakan dari orang-orang yang menggunakan simbolisme dari komunitas
interpretasi hukum tertentu untuk untuk mendukung argumentasi mereka. Simbol-simbol
yang biasa digunakan umumnya berbentuk bahasa, seperti penyebutan terlarang (haram/mahzur),
diperbolehkan (halal/mubah), dibenci (makruh) dan dianjurkan (mustahabb/mandub).
Menurut Khaled, sunah dan hadis juga tidak bisa dipisahkan dari praktek kreatif
komunitas hukum. Jika seseorang berbicara tentang sunah dan hadis, ia berarti
telah berbicara tentang sebuah kontruksi simbolis yang makna dan kekuatan
normatifnya diperoleh dari budaya hukum.
Bagi Khaled, persoalan ini melahirkan dua pertanyaan penting. Pertama, dinamika
apa yang terjadi antara teks, komunitas interpretasi, penetapan makna dan
otoritas? Kedua, berdasarkan sudut pandang bagaimana sebuah otoritarianisme
terbentuk dalam persoalan pertama?
Untuk memperjelas penjelasannya,
Khaled kemudian memaparkan beberapa contoh yang disarikan dari al-Qur’an dan
sunah:
1.
Al-Qur’an
Sebelum ke contoh, menurut Khaled diperlukan memahami konteks tindakan
kepengarangan al-Qur’an, yakni pertanyaan-pertanyaan apa maksud periwayatan
al-Qur’an secara lisan? Apakah para perawi dan penghimpun al-Qur’an dipandang
sebagai bagian dari proses kepengarangan? Apakah masuk akal untuk mengatakan
proses penulisan itu bertanggung jawab, sebagian atau seluruhnya, terhadap
makna yang dihasilkan oleh teks al-Qur’an? Apakah menganalisis al-Qur’an dari
perspektif dinamika kekuasaan di seputar proses penghafalan, periwayatan dan
pemeliharaannya dapat diterima akal?. Namun agaknya Khaled agak sungkan
membahas tentang kepengarangan al-Qur’an, ini dilihat dari jawaban Khaled yang
mengatakan tidak masuk akal membahas konsep umat Islam tentang asal-usul
ilahiah berkaitan dengan teks al-Qur’an.
Contoh pertama, tentang ayat muhkamat dan ayat mutasyabihat:
uqèd üÏ%©!$# tAtRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# çm÷ZÏB ×M»t#uä ìM»yJs3øtC £`èd Pé& É=»tGÅ3ø9$# ãyzé&ur ×M»ygÎ7»t±tFãB ( $¨Br'sù tûïÏ%©!$# Îû óOÎgÎ/qè=è% Ô÷÷y tbqãèÎ6®Kusù $tB tmt7»t±s? çm÷ZÏB uä!$tóÏGö/$# ÏpuZ÷GÏÿø9$# uä!$tóÏGö/$#ur ¾Ï&Î#Írù's? 3 $tBur ãNn=÷èt ÿ¼ã&s#Írù's? wÎ) ª!$# 3 tbqãź§9$#ur Îû ÉOù=Ïèø9$# tbqä9qà)t $¨ZtB#uä ¾ÏmÎ/ @@ä. ô`ÏiB ÏZÏã $uZÎn/u 3 $tBur ã©.¤t HwÎ) (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇÐÈ
“Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran)
kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah
pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun
orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti
sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah
untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya
melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami
beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan
kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan
orang-orang yang berakal.” (Ali Imran :
7)
Khaled menjelaskan, ayat
ini menarik karena ia muncul untuk menentang semua gagasan tentang penetapan
makna oleh manusia. Teks di atas mengakui adanya kesamaran dalam teks, tapi
melanjutkan bahwa mereka yang berfokus mengkaji makna yang samar adalah orang
yang sesat. Ayat-ayat al-Qur’an yang jelas dan tegas maknanya digambarkan
sebagai pokok-pokok al-Qur’an.
Yang menarik, ayat
tersebut dikutip untuk mengecam banyak hal mulai dari penafsiran metaforis dan
deduksi hukum hingga praktek penafsiran kalam (teologi skolastik) dan
sufisme. Pada masa modern ini, ayat tersebut digunakan untuk mengecam gerakan
intelektualisme dan upaya penafsiran ulang al-Qur’an yang bercorak reformis.
Contoh kedua, tentang sapi betina dan orang-orang Israel:
øÎ)ur tA$s% 4ÓyqãB ÿ¾ÏmÏBöqs)Ï9 ¨bÎ) ©!$# ôMä.âßDù't br& (#qçtr2õs? Zots)t/ ( (#þqä9$s% $tRäÏGs?r& #Yrâèd ( tA$s% èqããr& «!$$Î/ ÷br& tbqä.r& z`ÏB úüÎ=Îg»pgø:$# ÇÏÐÈ (#qä9$s% äí÷$# $uZs9 y7/u ûÎiüt7ã $uZ©9 $tB }Ïd 4 tA$s% ¼çm¯RÎ) ãAqà)t $pk¨XÎ) ×ots)t/ w ÖÚÍ$sù wur íõ3Î/ 8b#uqtã ú÷üt/ y7Ï9ºs ( (#qè=yèøù$$sù $tB crãtB÷sè? ÇÏÑÈ (#qä9$s% äí÷$# $oYs9 /u ûÎiüt6ã $oY©9 $tB $ygçRöqs9 4 tA$s% ¼çm¯RÎ) ãAqà)t $pk¨XÎ) ×ots)t/ âä!#tøÿ|¹ ÓìÏ%$sù $ygçRöq©9 Ý¡s? úïÌÏ໨Z9$# ÇÏÒÈ (#qä9$s% äí÷$# $uZs9 y7/u ûÎiüt7ã $uZ©9 $tB }Ïd ¨bÎ) ts)t6ø9$# tmt7»t±s? $uZøn=tã !$¯RÎ)ur bÎ) uä!$x© ª!$# tbrßtGôgßJs9 ÇÐÉÈ tA$s% ¼çm¯RÎ) ãAqà)t $pk¨XÎ) ×ots)t/ w ×Aqä9s çÏVè? uÚöF{$# wur Å+ó¡s? y^öptø:$# ×pyJ¯=|¡ãB w spuÏ© $ygÏù 4 (#qä9$s% z`»t«ø9$# |M÷¥Å_ Èd,ysø9$$Î/ 4 $ydqçtr2xsù $tBur (#rß%x. cqè=yèøÿt ÇÐÊÈ
67. Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada
kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi
betina." mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan Kami buah
ejekan?" Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak
menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil".
68. Mereka menjawab: " mohonkanlah kepada
Tuhanmu untuk Kami, agar Dia menerangkan kepada kami; sapi betina Apakah
itu." Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina
itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu;
Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu".
69. Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada
Tuhanmu untuk Kami agar Dia menerangkan kepada Kami apa warnanya". Musa
menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi
betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang
yang memandangnya."
70. Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada
Tuhanmu untuk Kami agar Dia menerangkan kepada Kami bagaimana hakikat sapi
betina itu, karena Sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi Kami dan
Sesungguhnya Kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi
itu)."
71. Musa berkata: "Sesungguhnya Allah
berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai
untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat,
tidak ada belangnya." mereka berkata: "Sekarang barulah kamu
menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya". kemudian mereka
menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu. (al-Baqarah 67-71)
Khaled menjelaskan, makna simbolis dari diskursus al-Qur’an ini adalah
bahwa orang-orang Israel dikecam karena reaksi mereka. Namun, pertanyaannya
adalah: apa alasan kecaman tersebut? Jawaban bahwa mereka dikecam karena
keengganan mereka untuk melaksanakan perintah Tuhan akan muncul pertanyaan
lain, yaitu mengapa mereka enggan? Orang-orang Israel pada awalnya atas
perintah Musa untuk menyembelih sapi betina dengan penuh keheranan. Sebenarnya
mereka berpikir bahwa Musa mengejek dan mengolok-olok mereka. Setelah Musa
meyakinkan mereka bahwa ia benar-benar menyampaikan kehendak Tuhan, orang-orang
Israel terus melontarkan serangkaian pertanyaan hingga akhirnya mereka
melaksanakan juga perintah tersebut.
Kisah ini oleh Khaled
disinkronkan dengan contoh pertama (ayat muhkamat dan mutasyabihat),
yakni bahwa al-Qur’an tidak menolak keberadaan ayat-ayat yang samar dalam teks
al-Qur’an. Sesungguhnya ayat-ayat tersebut dapat dipahami sebagai petunjuk yang
menegaskan bahwa ada poros atau inti al-Qur’an dan inti al-Qur’an itu memiliki
makna yang jelas dan tidak samar. Namun, ayat tersebut tidak mengatakan
sedikitpun tentang sejauh mana kesamaran tersebut atau alasan keberadaan
ayat-ayat yang samar maknanya. Al-Qur’an hanya mengecam itikad buruk yang tidak
benar dalam menanggapi kesamaran tersebut. Demikian pula halnya, ayat kedua
tidak mengecam secara langsung upaya-upaya interpretasi atau membatasi peran
pembaca. Mungkin saja bahwa memahami kisah sapi betina itu sebagai petunjuk
yang memberikan pelajaran anti-intelektualisme atau membatasi peran pembaca
juga dipandang sebagai bentuk interpretasi yang nyata.
2.
Sunah
Khaled juga menjelaskan apa itu sunah sebelum ke contoh, sunah adalah
sebuah korpus riwayat tak terbentuk tentang perilaku, sejarah (sirah),
dan perkataan (hadis) Nabi dan juga mencakup beragam riwayat tentang
sahabat nabi. Sunah pada mulanya dituturkan secara lisan hingga akhirnya
didokumentasikan dalam berbagai kitab yang dikenal dengan sunan atau masanid.
Dalam bentuk lisan, sunah merekam tradisi yang hidup dalam masyarakat
Muslim terdahulu. Dalam bentuk tulisan, hadis-hadis tersebut tidak lagi
berkembang tapi terekam dalam bentuk yang terstruktur dan terorganisasi. Sunah
dihimpun melalui mata rantai yang cukup panjang mulai dari Nabi, para sahabat (shahabah),
generasi sesudah sahabat (tabi’in) dan berujung pada perawi terakhir
sebelum hadis didukukan.
Melengkapi penjelasannya
tentang sunah, Khaled memaparkan ilmu-ilmu yang ada di dalam sunah seperti al-‘adl
wa al-tarjih,[3] ‘ilm ‘ilal al-matn, dan juga pemaparan
tentang hadis mutawatir dan hadis ahadi. Hadis mutawatir adalah
hadis atau periwayatan yang disampaikan oleh tiga generasi pertama dengan
jumlah perawi yang sangat banyak sehingga sangat tidak mungkin terjadi
pemalsuan, sedangkan hadis ahadi adalah hadis yang kualitasnya tidak
mencapai mutawatir.
Khaled mencontohkan kasus
layakkah perempuan menjabat hakim atau pemimpin politik? Menurutnya perdebatan
seputar ini berasal dari hadis yang dinisbatkan kepada Nabi yang menyebutkan,
“sebuah bangsa yang menyerahkan urusannya kepada perempuan tidak akan sukses”.
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Bakrah al-Tsaqafi (w. 52 H./672 M.), sahabat
yang baru masuk Islam pada masa-masa terakhir kehidupan Nabi. Riwayat lain yang
secara lengkap berbunyi, bahwa Nabi sedang berbaring dengan kepalanya berada
dipangkuan ‘Aisyah (w. 58 H./678 M.) ketika seseorang yang tidak dikenal
menghampiri beliau dan memberitakan bahwa persia kalah dalam sebuah peperangan.
Nabi segera bangkit dan mengatakan bahwa, “sungguh, kaum laki-laki akan celaka
bila mereka mematuhi kaum perempuan”.
Abu Bakrah menyampaikan
lebih dari seratus tiga puluh hadis yang dinisbatkan kepada Nabi. Para ulama
hadis telah menerima kredibilitas Abu Bakrah dan beberapa ulama hadis
melukiskannya sebagai salah satu sahabat terbaik Nabi. Meskipun demikian, ada
beberapa hal penting yang harus dipertimbangkan seputar kehidupan Abu Bakrah
dan yang paling menonjol adalah bahwa ia telah dituduh sebagai seorang tukang
fitnah dan khalifah ‘Umar ibn al-Khaththab (memerintah tahun 12-23 H./634-644
M.) menolak kesaksiannya dalam kasus-kasus hukum. Dalam hal ini Khaled
menanyakan, bagaimana menjelaskan fakta bahwa riwayat Abu Bakrah, terutama
tentang kepemimpinan perempuan, bisa diterima sebagai berasal dari Nabi,
padahal ‘Umar sendiri telah menolaknya sebagai saksi yang bisa dipercaya?
Khaled menjawab sendiri, penyelidikan hadis ini membawa pada sejumlah
pertanyaan, tantang dan teka-teki yang membingingkan, oleh karenanya bagi Khaled
hadis ini dipandang hanya memiliki kompetensi yang sangat terbatas dan bahwa
komunitas interpretasi hanya memiliki nilai preseden yang terbatas bagi
komunitas interpretasi dewasa ini.
Di akhir bab ini Khaled
lebih banyak memaparkan tentang hermeneutika yang diusungnya, yaitu
hermeneutika negosiasi, dimana dalam memaknai sebuah teks dan menafsirkan suatu
fenomena, terjadi dialog dan dialektika yang kontinum antara teks, pembaca dan
realitas. Sepanjang yang berkaitan dengan triadik hermeneutika text-author-reader,
titik tekan Khaled lebih pada reader tanpa menganulir dua unsur
lainnya. Sebab bagi Khaled, pembacalah yang senatiasa mengalami perubahan dan
dinamika di sepanjang hidupnya. Selain itu, pembaca juga memiliki kepentingan
terhadap teks. Hal ini disebabkan teks pada dasarnya dan manusia yang sebagai
pembacalah yang memberi suaranya dan makna.
Pada akhirnya menurut
Khaled untuk menghindari penyalahgunaan dan penyelewengan otoritas bagi
seseorang agar tidak sewenang-wenang dalam menentukan pembacaannya, Khaled
menawarkan lima persyaratan: yaitu (1) kejujuran, (2) pengendalian, (3) kesungguhan,
(4) kemenyeluruhan, (5) rasionalitas.
C.
Refleksi
Akar terjadinya otoritarianisme dalam penafsiran terhadap al-Qur’an atau
hadis adalah akibat dari kesalahan prosedural metodologis terkait dengan relasi
antara ketiga unsur, yaitu pengarang, teks dan pembaca. Dalam hal ini,
kesalahan prosedural tersebut ditandai dengan model pembacaan subjektif dan
selektif. Subjektif maksudnya, sikap penyatuan diri pengarang kepada teks, atau
penyamaan maksud pembaca dengan maksud pengarang. Sedangkan selektif artinya,
seorang pengarang dalam menafsirkan suatu teks, hanya menggunakan dalil-dalil
yang mendukung penafsirannya sehingga menjadi tidak komprehensif analisisnya.[4]
Konsep hermeneutika Khaled, makna sebuah teks tidak ditentukan oleh salah
satu dari ketiga unsur hermeneutika, yaitu pengarang, teks dan pembaca,
melainkan makna sebuah teks terjadi dari proses yang kompleks, interaktif,
dinamis dan dialektis di antara ketiga unsur tersebut. Selanjutnya, sadar betul
bahwa seseorang tidak bisa menghindar dari subjektivitasnya, maka lima syarat
yang diajukan memang diharuskan agar tidak jatuh kedalam otoritarianisme.
Pelanggaran terhadap salah satu dari kelima syarat tersebut akan menyebabkan
terjadinya penafsiran yang otoriter.
REFERENSI :
Yusriandi,
“Hermeneutika Hadis Khaled M. Abou El Fadl” dalam Sahiron Syamsuddin (ed.), Hermeneutika
al-Qur’an dan Hadis Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010.
Fadl, Khaled
M. Abou El, Atas Nama
Tuhan; Dari Fikih Otoriter Ke Fikih Otoritatif terj.
Cecep Lukman Yasin Jakarta: Serambi, 2004.
Ansori, “Teks
dan Otoritas (Memahami Pemikiran Hermeneutika Khaled M. Abou El Fadl),” dalam Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Quran dan Hadis Vol. 10, 1, Januari, 2009.
[1]
Yusriandi, “Hermeneutika Hadis Khaled M. Abou El Fadl” dalam Sahiron Syamsuddin
(ed.), Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010)
hlm. 413.
[2]
Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan; Dari Fikih Otoriter Ke Fikih
Otoritatif terj. Cecep Lukman Yasin (Jakarta: Serambi, 2004) hlm. 142-203.
[3]
Mungkin yang dimaksud adalah al-jarh wa al-ta’dil.
[4]
Ansori, “Teks dan Otoritas (Memahami Pemikiran Hermeneutika Khaled M. Abou El
Fadl),” Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Quran dan Hadis X, (2009) hlm. 66.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar