Selasa, 28 April 2015

Tokoh Ahli Hadis : Ahmad Hasan



A.    Biografi
Beliau dilahirkan di Singapura pada tahun 1887 dengan nama Hasan bin Ahmad. Bapaknya, Ahmad,  berasal dari Indonesia. Sedangkan ibunya, Muznah, adalah wanita keturunan India.
            Pendidikan dasarnya ditempuh di Singapura. Kemudian dilanjutkan di sekolah Melayu dan belajar di pemerintah Inggris sembari mendalami bahasa Tamil dari bapaknya. Sedangkan di sekolah ia mempelajari bahasa Tamil, Arab, Melayu, dan Inggris. Pendidikan Bahasa Arabnya banyak di dapat dari gurunya seperti H. Ahmad di Bukittiung, Muhammad Thaib di Minto Road, Said Abdullah al-Musawi, pamannya sendiri Abdul Lathif, Syeikh Hasan dari Malabar, dan Syeikh Ibrahim di India. Pendidikan al-Qur`annya sendiri ia tempuh sejak berumur tujuh tahun.
            Sejak 1910 sampai 1913 ia menjadi pengajar di madrasah orang-orang India di Arab Street, Baghdad Street, dan geylang Singapura. Tahun 1912-1913 beliau menjadi anggota redaksi surat kabar utusan Melayu yang diterbitkan di Singapore Press. Lalu pada tahun 1921, beliau pindah ke Surabaya dengan tujuan melanjutkan pengelolaan toko tekstil milik pamannya.
            Kondisi sosial yang melingkupi Surabaya saat itu adalah perdebatan pemikiran mengenai pembaharuan pemikiran Islam dengan kaum tradisionalis. Sehingga mempengaruhi pemikirannya untuk terus mendalami agama Islam. Takdir membawanya belajar pertenunan di Kediri bukan sebagai penjaga toko tekstil sebagaimana yang direncanakan sebelumnya. Lalu dari Kediri ia ke Bandung. Di Bandung inilah ia tinggal di rumah pendiri Persis, Muhammad Yunus. Akhirnya, dalam kesehariannya banyak ia curahkan dalam kajian Islam dengan berkiprah di Persis.

B.     Karya-karya
Sebagai guru besar Persis (Persatuan Islam) ia merupakan sesosok yang sangat produktif dalam bidang kepenulisan. Karya-karyanya banyak sekali. Diantaranya adalah seperti Al-Burhan, Al-Faraid, Al-Hidayah, Al-Hikam, Al-Iman, Al-Jawahir, Al-Manasik, Al-Madzhab, Al-Mukhtar, An-Nubuwwah, Apa Dia Islam?, Aqaid, At-Tauhid, Bacaan Sembahyang, Belajar membaca huruf Arab, Bibel melawan Bibel, Terjemah Bulughul Marom, Debat Kebangsaan, Debatt Luar biasa, Debat Riba, Debat Talqin, Debat Taklid, Dosa-Dosa Yesus, Halalkah Bermadzhab?, dan masih banyak yang lainnya.

C.     Pokok Pemikiran
            Dalam berfikir, Ahmad Hasan dikenal sebagai sosok yang sangat ekstrem. Utamanya ibadah mahdhah. Secara tegas ia menolak hal-hal yang menurutnya adalah bid’ah. Sebuah tindakan yang tidak pernah dilakukan pada zaman Rasulullah Saw.  Secara garis besar, pokok pemikirannya adalah:
1.      Sumber hukum hanyalah Al-Qur`an dan hadis. Ia menolak pendapat para ulama , terutama karena tidak diketahui rujukan nashnya ataupun dinilai bertentangan dengan nash. Kalaupun ia mengikuti pendapat para ulama, itu karena adanya kesesuaian dengan nash yang dipegang teguh.
2.      Ittiba’ terhadap pendapat yang sudah diketahui dalilnya secara jelas hukumnya boleh. Sedangkan taqlid, mengikuti pendapat tanpa diketahui alasannya sangat ditentangnya.
3.      Sebagaimana kelompok dzahiri, dalam menyimpulkan hukum berpegang teguh pada nash yang sudah jelas. Nash yang tidak jelas lafazhnya sehingga membutuhkan takwil dihindari.
4.      Di dalam melakukan kritik terhadap hadis, lebih mengutamakan kritik redaksional (matn) dan periwayatan saja. Di dalam mengkritik matn sebatas apakah hadis tersebut bertentangan dengan al-Qur`an, hadis mutawatir atau hadis-hadis lain yang kualitasnya lebih kuat. Sedangkan dalam melakukan kritik terhadap sanad lebih dalam melakukan penukilan terhadap hadis dan kritik rawi.
5.      Menolak Ijma’ ulama. Menurutnyatidak ada satu ayatpun yang memerintahkan melakukan ijma’. Sumber hukum hanyalah al-Qur`an dan hadis. Sedangkan hhukum manusia, sekalipun sudah merupakan kesepakatantidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum.
Dari pemikiran tersebut, secara terperinci dapat dilihat dari cara Dewan Hisbah (majelis ulama dikalangan persis) dalam mengambil keputusan. Di antaranya adalah:
1.      Di dalam mengambil suatu keputusan, maka yang diambil adalah hadis Shahih dan hadis hasan.
2.      Menyikapi hadis dhaif, mereka menerima hadis dhaif, jika penyebab lemahnya hadis tersebut bukan dari segi kualitas hafalan seorang rawi dan tidak bertentangan dengan al-Quran atau hadis lain yang dinilai lebih shahih. Akan tetapi, jika yang menyebabkan lemahnya suatu hadis karena buruknya hafalan perawinya, maka hadis tersebut ditolak. Dalam hadis dhaif ini, mereka juga tidak mempertimbangkan adanya fadhailul ‘amal, sebab hadis-hadis yang mengandung keutamaan dan bernilai shahih itu sudah banyak.
3.      Hadis dinilai sebagai sumber syari’at yang sudah mandiri, sekalipun ia bukan bayan dari al-Qur`an.
4.      Menerima hadis ahad sebagai dasar hukumselama hadis tersebut masih bernilai shahih.
5.      Al-Hadis Mursal Sahabi dan mauquf bi al-hukmi al-marfu’ dipakai sebagai hujjah selama sanad al-hadis tersebut shahih dan tidak bertentangan dengan hadis shahih yang lain.
6.      Al-Hadis mursal tabi’i dijadikan hujjah apabila hadis tersebut disertai qarinah yang menunjukkan ittisalnya hadis tersebut.
7.      Dalam qaidah al-jarh wa al-ta’dil ketika keduanya bertentangan, maka yang diunggulkan adalah ­al-jarhu, dengan catatan sebagai berikut:
a.       Jika yang men-jarah menjelaskan jarah nya didahulukan jarh daripada ta’dil.
b.      Jika yang men-jarh tidak menjelaskan sebab jarh nya, maka yang didahulukan adalah ta’dil.
c.       Jika yang men-jarh tidak menjelaskan sebab jarh-nya, tetapi tidak ada seorangpun yang menyatakan siqat, maka jarh-nya bisa diterima.
8.      Menerima kaidah As-Shahabatu kulluhum ‘udul.
9.      Riwayat orang yang sering melakukan tadlis diterima jika ia menerangkan bahwa apa yang diriwayatkannya itu jelas shighat tahammul wal ada’-tahammul wal ada’-nya. Seperti lafadz haddatsani.
Adapun metode pemahaman yang digunakan dalam memahami hadis adalah interteks atau metode riwayah, baik dengan menyajikan hadis-hadis Nabi sendiri, maupun teks-teks dari para ulama hadis. Terutama dalam masalah ibadah murni. Yang diandalkan adalah takhrij dan tarjih terhadap hadis Nabi Saw. Sebagaimana yang digambarkan oleh dewan Hisbah sebagai majelis untuk menentukan suatu hukum dalam Persis, mereka berpegang pada pendapat “dalam masalah ibdah, lakukan apa yang diperintah”. Sedangkan dalam masalah muamalah, selain metode riwayat, metode yang digunakan adalah tahlili (pemikiran analitik) dengan analisis menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh. Hal ini tidak lepas dari pandangan mereka terhadap hadis. Menurut mereka, hadis adalah perkataan Nabi sebagai kapasitasnya sebagai rasul. Sehingga apa yang terdapat dalam hadis maka itu adalah syari’at yang harus dijalankan. Sedangkan untuk memahami, mereka jarang sekali menggunakan analisis sosiologi atau analisis keilmuan lainnya. Karena dalam ijtihad mereka, teks menempati peran yang sangat sentral, sehingga sebagaimana yang dikemukakan oleh Dr. M. Abdurahman, di Persis konteks kekinian harus tunduk pada teks. Sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa mereka cenderung tekstual.
Selain itu, nuansa pemahaman di kalangan persis sendiri, baik yang menyangkut dengan persoalan ibadah ataupun persoalan muamalah, mereka cenderung fiqh oriented. Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya bahwa ketika Nabi Muhammad Saw. Mengeluarkan hadis, maka itu adalah kapasitas beliau sebagai rasul. Sehingga implikasinya, secara tekstualis, hadis berimplikasi hukum dan bersifat universal yang dapat diterapkan di semua tempat dan waktu.


Daftar Pustaka
Rosyada, Dede. Metode Kajian Hukum Dewan Hisbah Persis. Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu. 1999
Hawasy, Siti Shobriyah. Metode Pemahaman Hadis Dewan Hisbah Persatuan Islam (PERSIS): Kajian Terhadap Keputusan Sidang Dewan Hisbah PERSIS ke IV Tahun 2002. Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008.
Ahmad Hasan ulama dan guru besar dalam Bayulaksono.blogspot.com diakses tanggal 9 maret 2014.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar