A.
Riwayat
Hidup M. M al-A’zami
lahir di awal tahun 1932 di Mau, India. Sarjana Mudanya diraih di Universitas
Darul Ulum, Deoband, India (1952). Pendidikan Masternya diselesaikan di
Universitas Al Azhar, Mesir pada 1955. Adapun gelar Ph.D-nya diraih dengan
predikat summa cumloude dari Universitas Cambridge pada 1966 lewat
desertasinya yang fenomenal di dunia islam dengan judul 'on the schact's
Mohammaden jurisprudence'. Dalam kesehariaannya, al-A’zami bekerja sebagai seorang
guru/pengajar bahasa Arab, dan mendapatkan gelar yang tinggi dari Univesitas
Cambridge. Setelah itu, ia pergi ke Hizaj dan mengajar di Fakultas Syari'ah di Makkah, dan di kampus ini al-A’zami didaulat sebagai pengajar Ilmu
Musthalah al-Hadits di bidang Budaya Islāmiyah.
Saat ini ia menjadi guru besar emeritus pada Univ.
King Saud (Riyadh), pernah juga menjadi associate professor di Jami'ah Al
Islamiyyah Ummul Quro', Makkah, guru besar tamu di beberapa universitas di Barat
seperti di Univ. Michigan dan Oxford seta menjadi professor tamu di islamic studies di Univ. Princeton.
Diantara karya-karyanya yang terkenal adalah : ‘Aqdiyyah Rasūlillāh saw, Dirāsāt fī al-Jarh wa al-Ta'dīl, al-Madkhal ilā al-Sunan al-Kubrā li al-Hafidz Abī Bakr al-Baihaqī. Dirāsāt fī al-Hadīts al-Nabawī wa Tārīkh Tadwīnihi, Manhaj al-Naqd 'Inda
al-Muhadditsīn, serta kitab Tārikh Tadwīn al-Qur’ān al-Karīm yang disinyalir merupakan karya terbaiknya. Pada tahun 1980, ia mendapatkan award
dari Yayasan Internasional King Faisal untuk bidang islamic studies.
B.
Pemikiran hadis al-A’zami
a.
Pengertian Sunnah dan
Kedudukannya Menurut al-A'zami
al-A’zami mendefinisikan sunnah secara bahasa sebagai tata cara.. Sedang dalam al-Qur’an
sendiri,
menurutnya, kata sunnah dipakai untuk arti tata "cara dan tradisi".
Kemudian kata "sunnah" untuk arti terminologis
dengan menambahi "al" di depannya, diartikan sebagai "tata
cara dan syri'at Rasulullah saw" dan hal tersebut tidak berarti pengertian
etimologisnya itu terhapus, sebab
pengertian yang belakang ini hanya di pakai dalam arti yang sempit[1].
Menurut al-A'zami, sunnah adalah sumber ajaran kedua setelah al-Qur’an sekaligus penjelas
al-Qur’an yang bersifat global. Karena diantara tugas Rasulullah saw. adalah menjelaskan hal –
hal global dalam al-Qur’ān, baik dengan lisan maupun dengan perbuatan. Menolaknya sama saja menolak
al-Qur’an[2].
Dari keterangan dalam beberapa ayat, al-A'zami berpandangan
sudah jelas bahwa memakai al-Qur’an saja dan meninggalkan sunnah adalah suatu
yang tidak mungkin dan tidak di benarkan.
b. Konsep 'adalah dan Penulisan Hadis Nabi
(Tadwin)
al-A'zami lebih cenderung mengatakan bahwa semua sahabat 'Udul.
Iapun menyandarkannya pada pendapat Jumhur ulama terdahulu. Beberapa pendahuhulu al-A’zami berpendapat bahwa Hadits-hadits Rasul hanya
di sebarkan secara lisan sampai abad pertama Hijriah.[3]
Khusus pada abad ke tiga merupakan masa yang sangat subur dan produktif dalam
penulisan hadits, dan sistem penyusunannya juga sudah lebih baik daripada masa sebelumnya. Hingga pada masa
sebelumnya di gabungkan dengan masa itu, sehingga sedikit saja yang tersisa. Kesimpulannya, tidak
mungkin ada penulisan hadis pada abad pertama Hijriyyah.
al-A’zami sendiri, membenarkan
telah adanya penulisan hadis Nabi di awal periode Islam. mengenai pendapat
golongan yang mengingkari fakta tersebut, al-A’zami membantahnya dengan
menyebutkan kesalahan dalam argumen semacam itu. Sebagai berikut :
1) Misinterpretasi
tentang kata-kata Tadwīn, Tashnīf, dan Kitābah yang di pahami dalam makna dan pengertian yang
sama dalam pencatatan.
2) Kesalahpahaman
tentang Istilah Haddatsana, Akhbarana, 'An, dan lainnya yang diyakini di
pakai untuk periwayatan secara lisan.
3) Klaim
bahwa hafalan orang Arab adalah unik, sehingga mereka tidak perlu mencatat
sesuatu apapun di dalam buku.
4) Sejumlah hadis Nabi sendiri yang bertentangan dengan
kegiatan penulisan hadis.
5) Misinterpretasi ungkapan atau pernyataan para ahli di
awal masa perkembangan Islam yang berkaitan dengan penulisan hadis.[4]
c.Seputar Otentisitas Hadits Nabi dan Periodesasinya
Periodisasi yang dirumuskan oleh al-A’zami adalah penggalan –
penggalan masa sejarah tentang perkembangan hadis, yaitu fase-fase yang telah ditempuh
dan dialami dalam sejarah pembinaan dan perkembangan hadis, sejak Rasulullah
masih hidup sampai terwujudnya kitab-kitab yang dapat disaksikan hingga
sekarang.
Dalam kitabnya Studies in Early Hadis Literature,
al-A'zami telah menyusun periodisasi sejarah dan perkembangan hadis sebagai
berikut :
a)
Pra Classical Hadith
Literature
Yaitu periodisasi sebelum dibukukannya hadis. Masa ini
terjadi mulai zaman Nabi sampai berakhirnya abad pertama Hijryah. Periode ini dibagi
kepada 4 fase yaitu : Fase pertama, fase aktifnya para sahabat menerima dan
menyampaikan hadis, Fase kedua, fase para tabi'in menerima dan meriwayatkan
hadis dari para sahabat, Fase ketiga, fase tabi'it tabi'in menerima dan
meriwayatkan dari tabi'in, dan Fase keempat, fase para guru dan ulama hadis mengajar dan
menyampaian hadis.
b) The Learning And Transmitting Of Hadis
Periode ini mulai sejak abad II Hijriyah, yakni sejak dikeluarkanya
perintah resmi dari khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk membukukan hadis. Periode ini terbagi
kedalam tiga fase yaitu :
Pertama, dalam fase ini (1) Ahli hadis, dalam menyusun kitab-kitab hadis
memuat juga ayat-ayat al-Qur’an, atsar-atsar sahabat dan tabi'in, (2) Di semua kota besar yang
masuk dalam daerah islam ada ahli-ahli hadisnya yang terkenal.
Kedua, fase sampai awal abad III Hijriyah. Dalam fase
ini (1) Kitab-kitab
hadis, Khusus hanya memuat Hadis Nabi saja, (2) Susunan
Hadis ada yang berdasarkan topik pembahasan masalah dan ada yang berdasarkan
nama sahabat periwayat
Ketiga, Fase
pada abad II Hijriyah dan seterusnya. Dalam fase ini, perkembangan hadis dari
segi penulisannya, pengkajian dan pembahasan, telah mencapai puncaknya yang
tertinggi[5].
D.Persyaratan
untuk Hadis Shahīh, hasan
Li-Dzātihi, Hasan Li-Ghairihi dan Hadis Mardūd.
al-A’zami mengajukan persyaratan untuk Hadis
Shahih
sebagaimana berikut:
a)
Kontinuitas mata rantai (Isnad) harus terjaga, yang
artinya seluruh perawi kembali kepada perawi terakhir.
b) Tidak boleh ada syudzudz.
c) Hadis tersebut tidak boleh mempunyai cacat yang
tersembunyi.
Sementara untuk hadis Hasan Li-Dzātihi, ia mengatakan bahwa semua
syarat-syarat yang di cantumkan untuk hadis shahih juga di syaratkan
untuk hadis hasan Li-Dzatihi, kecuali bahwa para perawinya hanya
termasuk kelompok keempat (shadūq) atau istlah lain yang setara dengan tingkatan tersebut.
Untuk Hadis Hasan Li-Ghairih, apabila perawi termasuk
kedalam kelompok kelima atau keenam, dan ada hadis lain yang mendukungnya baik
dari segi susunan matan atau yang semakna dengannya, hadis yang pertama
disebut hadis hasan li-ghairihi. Di terimanya hadis secara keseluruhan
adalah di dasarkan pada keberadaan Ulama' yang paling lemah. Jadi jika ada satu
orang perawi yang lemah, maka hal itu berakibat pada lemahnya tingkatan hadis
tersebut.[6]
Mengomentari tentang hadis yang di tolak (mardūd), ia lebih spesifik menjelaskan kriteria hadis yang di
tolak terbagi menjadi tiga macam:
a)
Penolakan yang di sebabkan oleh cacat yang ada pada diri
perawi.
b)
Kelemahan yang di akibatkan
keterputusan Isnād. Dalam kategori ini, sebuah hadis mungkin disebut
mursal, munqothi', dan mu'dhal, namun terkadang juga mauqūf dan maqthū'.
c)
kelemahan yang di
akibatkan oleh sebab-sebab yang sepele. Yang termasuk dalam kategori ini adalah
: maqlūb, mudtharib, dan mu'allal.[7]
E.Naqd al-Hadits
Dalam
bukunya Manhaj al-Naqd 'Inda al-Muhadditsin, Azami nemasukkan beberapa
aktifitas yang termasuk kateori kritik (naqd) :
a)
Menyeleksi (membedakan) antara Hadits Shahih dan Dha'if
dan menetapkan status perawi-perawinya dari segi kepercayaan atau cacat.[8]
b)
Penetapan status cacat
atau "Adil pada perawi
hadits dengan bukti-bukti yanng mudah di ketahui oleh para ahlinya, dan
mencermati matan-matan hadits untuk tujuan mengakui validitas atau
menilai lemah, dan upaya menyingkap kemusykilan pada matan hadits yang Shahih
serta mengatasi gejala kontradiksi antar matan dengan mengaplikasikan
tolak ukur yang detail.[9]
Dari perumusan di atas, maka hakikat kritik hadits bukan
untuk menilai salah atau membuktikan ketidakbenaran sabda Rasulullah saw,
tetapi sekedar uji perangkat yang memuat informasi tentangnya, termasuk uji kejujuran
informatornya..[10]
C.
Kritik al-A’zami Terhadap Pendapat
Orientalis tentang Sanad
Para
sahabat ketika Nabi masih hidup sudah biasa meriwayatkan hadits secara lisan dan metode yang di pakai
para Sahabat pada masa Nabi saw itulah yang kemudian melahirkan Isnad
atau metode pemakaian sanad.
Isnād menjelang akhir abad
pertama Hijriyah
mulai berkembang. Gejala umum yang terdapat dalam sanad hadits adalah
semakin jauh orang-orang dari masa Nabi saw, semakin bertambah pula jumlah
orang-orang yang meriwayatkan (rawi) hadits dari Nabi saw. Hal inilah yang seringkali
memancing kritik dari para orientalis. Dengan alasan hadis yang melewati banyak
masa dan generasi periwayat, pastilah mempunyai problabilitas besar untuk
keliru maupun dikelirukan. Menurut al-A’zami, Kekeliruan orang-orang
oreintalis dalam memilih materi studi sanad telah menyebabkan mereka melakukan
kesalahan yang mendasar. Karena sebagaimana yang dikutipnya dari Prof. Robson, para orientalis banyak
yang mengkaji hadis dari kitab –kitab sirah. [11]
Masalahnya adalah adanya kata-kata
yang selalu di barengi dengan deretan nama-nama rawi. Dalam penyusunan kitab
hadis mungkin terdapat dua hadis yang di sebutkan dalam satu tempat, padahal
dua hadis tersebut tidak ada hubungannya. Sedangkan kitab Sirah, selalu
memerlukan penuturan-penuturan kejadian-kejadian dan kisah-kisah yang selalu
berkaitan dan berkesinambungan. maka dari itu dari kaca mata ilmiyah
kitab-kitab Sirah tidak tepat di jadikan objek studi sanad.
D.
Kritik terhadap makalah dan M.M. al-A’zami
Beliau lahir pada tahun 1932, bukan pada tahun 1930
menurut referensi yang lebih kuat atau bisa dikatakan beliau lahir pada tahun
1930-an. Kata “Penentang” dalam judul diatas terlihat cocok meskipun beliau
selain menentang juga berhasil meruntuhkan pendapat-pendapat orentalis dengan
disertasinya yang selama bertahun-tahun menjadi rujukan studi hadis oleh
insider maupun outsider.
A’zami sebagai wakil dari kaum konservatif memiliki
pemahaman yang kuat terhadap ilmu-ilmu dalam studi islam, sehingga sangat lihai
dalam mematahkan pendapat-pendapat yang menyimpang. Meskipun beliau cenderung
hanya mengikuti pedapat-pendapat ulama terdahulu, karena dianggap ilmu tersebut
sudah mapan.
Pemikiran ilmiahnya terutama dengan pendekatan
historisnya sangat membantu dalam studi hadis masa kini yang mengedepankan
logika dan historis untuk mematahkan pendapat orentalis (terutama Joseph
Schacht) yang menyimpang menurut pemahaman umat Islam mayoritas.
[1] Muhammad
Mustafa A'zami. Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya. (1994).terj Ali Mustafa
Ya'kub (Jakarta: Pustaka Firdaus).hlm 13
[2] Muhammad
Mustafa A'zami. Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya. (1994).terj Ali Mustafa
Ya'kub (Jakarta: Pustaka Firdaus). hlm 27
[3] Lihat : Abu Thalib al-Maliki, Qut al-Qulub,i:159,
Tadzkirah al-Huffadz,i: 144. unutuk mengetahui penyebaran hadits secara
lisan selama satu ababd lebih.
[6] Muhammad
Mustafa Azami, MetodologiKkritik Hadis, terj. Drs. A. Yamin (Jakarta
Pusat : Pustaka Hidayah) hlm. 102-104
[7]Muhammad Mustafa Azami, MetodologiKkritik
Hadis, terj. Drs. A. Yamin (Jakarta Pusat : Pustaka Hidayah) hlm. 105-109
[10] Drs. Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadits Versi
Muhadditsin dan Fuqhaha, (Yogyakarta : Teras) hlm. 9-11
[11] Prof. Dr. M.M. Azami,Hadis Nabawi Sejarah
Kodifkasinya, terj. H.
Ali Musthafa Yaqub, (Jakarta : PT Pustaka Firdaus) 1994 hlm. 537-538
Tidak ada komentar:
Posting Komentar