Selasa, 28 April 2015

Tokoh Ahli Hadis : Mustafa al-Azami




A.    Riwayat Hidup M. M al-A’zami

lahir di awal tahun 1932 di Mau, India. Sarjana Mudanya diraih di Universitas Darul Ulum, Deoband, India (1952). Pendidikan Masternya diselesaikan di Universitas Al Azhar, Mesir pada 1955. Adapun gelar Ph.D-nya diraih dengan predikat summa cumloude dari Universitas Cambridge pada 1966 lewat desertasinya yang fenomenal di dunia islam dengan judul 'on the schact's Mohammaden jurisprudence'. Dalam kesehariaannya, al-A’zami bekerja sebagai seorang guru/pengajar bahasa Arab, dan mendapatkan gelar yang tinggi dari Univesitas Cambridge. Setelah itu, ia pergi ke Hizaj dan mengajar di Fakultas Syari'ah di Makkah, dan di kampus ini al-A’zami didaulat sebagai pengajar Ilmu Musthalah al-Hadits di bidang Budaya Islāmiyah.
Saat ini ia menjadi guru besar emeritus pada Univ. King Saud (Riyadh), pernah juga menjadi associate professor di Jami'ah Al Islamiyyah Ummul Quro', Makkah, guru besar tamu di beberapa universitas di Barat seperti di Univ. Michigan dan Oxford seta menjadi professor tamu di islamic studies di Univ. Princeton.
Diantara karya-karyanya yang terkenal adalah : Aqdiyyah Rasūlillāh saw, Dirāsāt fī al-Jarh wa al-Ta'dīl, al-Madkhal ilā al-Sunan al-Kubrā li al-Hafidz Abī Bakr al-Baihaqī. Dirāsāt fī al-Hadīts al-Nabawī wa Tārīkh Tadwīnihi, Manhaj al-Naqd 'Inda al-Muhadditsīn, serta kitab Tārikh Tadwīn al-Qur’ān al-Karīm yang disinyalir merupakan karya terbaiknya. Pada tahun 1980, ia mendapatkan award dari Yayasan Internasional King Faisal untuk bidang islamic studies.

B.     Pemikiran hadis al-Azami

a.      Pengertian Sunnah dan Kedudukannya Menurut al-A'zami
al-Azami mendefinisikan sunnah secara bahasa sebagai tata cara.. Sedang dalam al-Qur’an sendiri, menurutnya, kata sunnah dipakai untuk arti tata "cara dan tradisi".
Kemudian kata "sunnah" untuk arti terminologis dengan menambahi "al" di depannya, diartikan sebagai "tata cara dan syri'at Rasulullah saw" dan hal tersebut tidak berarti pengertian etimologisnya itu terhapus, sebab pengertian yang belakang ini hanya di pakai dalam arti yang sempit[1].
Menurut al-A'zami, sunnah adalah sumber ajaran kedua setelah al-Qur’an sekaligus penjelas al-Qur’an yang bersifat global. Karena diantara tugas Rasulullah saw. adalah menjelaskan hal – hal global dalam al-Qur’ān, baik dengan lisan maupun dengan perbuatan. Menolaknya sama saja menolak al-Qur’an[2].
Dari keterangan dalam beberapa ayat, al-A'zami berpandangan sudah jelas bahwa memakai al-Qur’an saja dan meninggalkan sunnah adalah suatu yang tidak mungkin dan tidak di benarkan.

b. Konsep 'adalah dan Penulisan Hadis Nabi (Tadwin)

al-A'zami lebih cenderung mengatakan bahwa semua sahabat 'Udul. Iapun menyandarkannya pada pendapat Jumhur ulama terdahulu. Beberapa pendahuhulu al-Azami berpendapat bahwa Hadits-hadits Rasul hanya di sebarkan secara lisan sampai abad pertama Hijriah.[3] Khusus pada abad ke tiga merupakan masa yang sangat subur dan produktif dalam penulisan hadits, dan sistem penyusunannya juga sudah lebih baik daripada masa sebelumnya. Hingga pada masa sebelumnya di gabungkan dengan masa itu, sehingga sedikit saja yang tersisa. Kesimpulannya, tidak mungkin ada penulisan hadis pada abad pertama Hijriyyah.
al-Azami sendiri, membenarkan telah adanya penulisan hadis Nabi di awal periode Islam. mengenai pendapat golongan yang mengingkari fakta tersebut, al-Azami membantahnya dengan menyebutkan kesalahan dalam argumen semacam itu. Sebagai berikut :
1) Misinterpretasi tentang kata-kata Tadwīn, Tashnīf, dan Kitābah yang di pahami dalam makna dan pengertian yang sama dalam pencatatan.
2) Kesalahpahaman tentang Istilah Haddatsana, Akhbarana, 'An, dan lainnya yang diyakini di pakai untuk periwayatan secara lisan.
3) Klaim bahwa hafalan orang Arab adalah unik, sehingga mereka tidak perlu mencatat sesuatu apapun di dalam buku.
4) Sejumlah hadis Nabi sendiri yang bertentangan dengan kegiatan penulisan hadis.
5) Misinterpretasi ungkapan atau pernyataan para ahli di awal masa perkembangan Islam yang berkaitan dengan penulisan hadis.[4]

c.Seputar Otentisitas Hadits Nabi dan Periodesasinya

Periodisasi yang dirumuskan oleh al-Azami adalah penggalan – penggalan masa sejarah tentang perkembangan hadis, yaitu fase-fase yang telah ditempuh dan dialami dalam sejarah pembinaan dan perkembangan hadis, sejak Rasulullah masih hidup sampai terwujudnya kitab-kitab yang dapat disaksikan hingga sekarang.
Dalam kitabnya Studies in Early Hadis Literature, al-A'zami telah menyusun periodisasi sejarah dan perkembangan hadis sebagai berikut :
a)    Pra Classical Hadith Literature

Yaitu periodisasi sebelum dibukukannya hadis. Masa ini terjadi mulai zaman Nabi sampai berakhirnya abad pertama Hijryah. Periode ini dibagi kepada 4 fase yaitu : Fase pertama, fase aktifnya para sahabat menerima dan menyampaikan hadis, Fase kedua, fase para tabi'in menerima dan meriwayatkan hadis dari para sahabat, Fase ketiga, fase tabi'it tabi'in menerima dan meriwayatkan dari tabi'in, dan Fase keempat, fase para guru dan ulama hadis mengajar dan menyampaian hadis.

b)    The Learning And Transmitting Of Hadis

Periode ini mulai sejak abad II Hijriyah, yakni sejak dikeluarkanya perintah resmi dari khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk membukukan hadis. Periode ini terbagi kedalam tiga fase yaitu :
Pertama,  dalam fase ini (1) Ahli hadis, dalam menyusun kitab-kitab hadis memuat juga ayat-ayat al-Qur’an, atsar-atsar sahabat dan tabi'in, (2) Di semua kota besar yang masuk dalam daerah islam ada ahli-ahli hadisnya yang terkenal.
Kedua,  fase sampai awal abad III Hijriyah. Dalam fase ini (1) Kitab-kitab hadis, Khusus hanya memuat Hadis Nabi saja, (2) Susunan Hadis ada yang berdasarkan topik pembahasan masalah dan ada yang berdasarkan nama sahabat periwayat
Ketiga, Fase pada abad II Hijriyah dan seterusnya. Dalam fase ini, perkembangan hadis dari segi penulisannya, pengkajian dan pembahasan, telah mencapai puncaknya yang tertinggi[5].

D.Persyaratan untuk Hadis Shahīh, hasan Li-Dzātihi, Hasan Li-Ghairihi dan Hadis Mardūd.

al-Azami mengajukan persyaratan untuk Hadis Shahih sebagaimana berikut:
a)      Kontinuitas mata rantai (Isnad) harus terjaga, yang artinya seluruh perawi kembali kepada perawi terakhir.
b)      Tidak boleh ada syudzudz.
c)      Hadis tersebut tidak boleh mempunyai cacat yang tersembunyi.
Sementara untuk hadis Hasan Li-Dzātihi, ia mengatakan bahwa semua syarat-syarat yang di cantumkan untuk hadis shahih juga di syaratkan untuk hadis hasan Li-Dzatihi, kecuali bahwa para perawinya hanya termasuk kelompok keempat (shadūq) atau istlah lain yang setara dengan tingkatan tersebut.
Untuk Hadis Hasan Li-Ghairih, apabila perawi termasuk kedalam kelompok kelima atau keenam, dan ada hadis lain yang mendukungnya baik dari segi susunan matan atau yang semakna dengannya, hadis yang pertama disebut hadis hasan li-ghairihi. Di terimanya hadis secara keseluruhan adalah di dasarkan pada keberadaan Ulama' yang paling lemah. Jadi jika ada satu orang perawi yang lemah, maka hal itu berakibat pada lemahnya tingkatan hadis tersebut.[6]
Mengomentari tentang hadis yang di tolak (mardūd), ia lebih spesifik menjelaskan kriteria hadis yang di tolak terbagi menjadi tiga macam:
a)      Penolakan yang di sebabkan oleh cacat yang ada pada diri perawi.
b)      Kelemahan yang di akibatkan keterputusan Isnād. Dalam kategori ini, sebuah hadis mungkin disebut mursal, munqothi', dan mu'dhal, namun terkadang juga mauqūf dan maqthū'.
c)      kelemahan yang di akibatkan oleh sebab-sebab yang sepele. Yang termasuk dalam kategori ini adalah : maqlūb, mudtharib, dan mu'allal.[7]
E.Naqd al-Hadits

Dalam bukunya Manhaj al-Naqd 'Inda al-Muhadditsin, Azami nemasukkan beberapa aktifitas yang termasuk kateori kritik (naqd) :
a)    Menyeleksi (membedakan) antara Hadits Shahih dan Dha'if dan menetapkan status perawi-perawinya dari segi kepercayaan atau cacat.[8]
b)   Penetapan status cacat atau "Adil  pada perawi hadits dengan bukti-bukti yanng mudah di ketahui oleh para ahlinya, dan mencermati matan-matan hadits untuk tujuan mengakui validitas atau menilai lemah, dan upaya menyingkap kemusykilan pada matan hadits yang Shahih serta mengatasi gejala kontradiksi antar matan dengan mengaplikasikan tolak ukur yang detail.[9]
Dari perumusan di atas, maka hakikat kritik hadits bukan untuk menilai salah atau membuktikan ketidakbenaran sabda Rasulullah saw, tetapi sekedar uji perangkat yang memuat informasi tentangnya, termasuk uji kejujuran informatornya..[10] 

C.     Kritik al-Azami Terhadap Pendapat Orientalis tentang Sanad

Para sahabat ketika Nabi masih hidup sudah biasa meriwayatkan hadits secara lisan dan metode yang di pakai para Sahabat pada masa Nabi saw itulah yang kemudian melahirkan Isnad atau metode pemakaian sanad.
Isnād menjelang akhir abad pertama Hijriyah mulai berkembang. Gejala umum yang terdapat dalam sanad hadits adalah semakin jauh orang-orang dari masa Nabi saw, semakin bertambah pula jumlah orang-orang yang meriwayatkan (rawi) hadits dari Nabi saw. Hal inilah yang seringkali memancing kritik dari para orientalis. Dengan alasan hadis yang melewati banyak masa dan generasi periwayat, pastilah mempunyai problabilitas besar untuk keliru maupun dikelirukan. Menurut al-Azami, Kekeliruan orang-orang oreintalis dalam memilih materi studi sanad telah menyebabkan mereka melakukan kesalahan yang mendasar. Karena sebagaimana yang dikutipnya dari Prof. Robson, para orientalis banyak yang mengkaji hadis dari kitab –kitab sirah. [11]
Masalahnya adalah adanya kata-kata yang selalu di barengi dengan deretan nama-nama rawi. Dalam penyusunan kitab hadis mungkin terdapat dua hadis yang di sebutkan dalam satu tempat, padahal dua hadis tersebut tidak ada hubungannya. Sedangkan kitab Sirah, selalu memerlukan penuturan-penuturan kejadian-kejadian dan kisah-kisah yang selalu berkaitan dan berkesinambungan. maka dari itu dari kaca mata ilmiyah kitab-kitab Sirah tidak tepat di jadikan objek studi sanad.

D.    Kritik terhadap makalah dan M.M. al-A’zami

Beliau lahir pada tahun 1932, bukan pada tahun 1930 menurut referensi yang lebih kuat atau bisa dikatakan beliau lahir pada tahun 1930-an. Kata “Penentang” dalam judul diatas terlihat cocok meskipun beliau selain menentang juga berhasil meruntuhkan pendapat-pendapat orentalis dengan disertasinya yang selama bertahun-tahun menjadi rujukan studi hadis oleh insider maupun outsider.

A’zami sebagai wakil dari kaum konservatif memiliki pemahaman yang kuat terhadap ilmu-ilmu dalam studi islam, sehingga sangat lihai dalam mematahkan pendapat-pendapat yang menyimpang. Meskipun beliau cenderung hanya mengikuti pedapat-pendapat ulama terdahulu, karena dianggap ilmu tersebut sudah mapan.

Pemikiran ilmiahnya terutama dengan pendekatan historisnya sangat membantu dalam studi hadis masa kini yang mengedepankan logika dan historis untuk mematahkan pendapat orentalis (terutama Joseph Schacht) yang menyimpang menurut pemahaman umat Islam mayoritas.








[1] Muhammad Mustafa A'zami. Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya. (1994).terj Ali Mustafa Ya'kub (Jakarta: Pustaka Firdaus).hlm 13
[2] Muhammad Mustafa A'zami. Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya. (1994).terj Ali Mustafa Ya'kub (Jakarta: Pustaka Firdaus). hlm 27
[3] Lihat : Abu Thalib al-Maliki, Qut al-Qulub,i:159, Tadzkirah al-Huffadz,i: 144. unutuk mengetahui penyebaran hadits secara lisan selama satu ababd lebih.
[4] Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadits, (Jakarta Pusat : Pustaka Hidayah) hlm. 54
[5] M Syuhudi Ismail. Pengantar ilmu Hadis (Bandung : Penerbit Angkasa). Hlm 69-71
[6] Muhammad Mustafa Azami, MetodologiKkritik Hadis, terj. Drs. A. Yamin (Jakarta Pusat : Pustaka Hidayah) hlm. 102-104
[7]Muhammad Mustafa Azami, MetodologiKkritik Hadis, terj. Drs. A. Yamin (Jakarta Pusat : Pustaka Hidayah) hlm. 105-109

[8] M. Muathafa al-Azami, Manhaj al-Naqd 'Inda al-Muhadditsin, (Riyadh : al-Ummariyah, 1982 ) hlm.5
[9] Al-Jawabi, Juhud al-Muhadditsin, hlm. 94.
[10] Drs. Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadits Versi Muhadditsin dan Fuqhaha, (Yogyakarta : Teras) hlm. 9-11
[11] Prof. Dr. M.M. Azami,Hadis Nabawi Sejarah Kodifkasinya, terj. H. Ali Musthafa Yaqub, (Jakarta : PT Pustaka Firdaus) 1994 hlm. 537-538 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar