BAB II
Pembahasan
A.
Riwayat Hidup Ahmad Hassan
a)
Latar Belakang Keluarga
Ahmad Hassan nama sebenarnya Hassan
bin Ahmad, tetapi berdasarkan kelaziman penulisan nama orang di Singapura, yang
menuliskan nama orang tua (ayah) di depan, maka Hassan bin Ahmad dikenal dengan
panggilan Ahmad Hassan, untuk selanjutnya disebut A. Hassan.[1]
Ia lahir di Singapura pada tahun
1887, berasal dari keluarga campuran Indonesia dan India. Ayahnya bernama
Ahmad, juga bernama Sinna Vappu Maricar. Yaitu orang India yang berasal dari
Arab, yang diberi gelar pandit (pendeta), karena keturunan dan kealimannya.
Adapun ibunya bernama Hajjah Musnah, seorang keturunan Palekat, Madras – India,
tetapi lahir dari keluarga yang taat melaksanakan ajaran agama. Ahmad dan
Muznah menikah di Surabaya, mereka bertemu ketika Ahmad berdagang di kota itu.[2]
b)
Latar Belakang Pendidikan
Pendidikan Ahmad Hassan sebagian
besar diperoleh dari ayahnya ketika ia masih kecil. Ia boleh dikatakan tidak
pernah memperoleh pendidikan formal sampai perguruan tinggi. Ia juga tidak
pernah menyelesaikan sekolah dasarnya di singapura, karena pada umur 7 tahu ia
sudah harus mulai belajar bekerja.
A. Hassan mulai bekerja mencari
nafkah pada usia 12 tahun sambil berusaha belajar privat dan berusaha untuk
menguasai bahasa Arab dengan maksud agar dapat memperdalam pengetahuannya
tentang Islam. Ia belajar privat melalui beberapa gurunya di antaranya: Muhammad Tholib dari Minto Road,
H. Ahmad dari Bukittinggi, A. Lathif dari Malaka, Syekh Hasan dan Syekh
IIbrahim dar Maribar dan India.[3]
Pada tahun 1911 ia menikah di sngapura dengan peranakan Tamil
Melayu yang bernama Maryam. Dari hasil
perkawinannya itu ia dikarunia tujuh orang anak yaitu: Abdul Kadir, jamilah,
Abdul Hakim, Zulaikha, Ahmad, Muhammad Said dan Mansur.[4]
Sekitar tahun 1912-1913 ia menjadi
anggota redaksi surat kabar Utusan Melayu ang diterbitkan oleh singapura press
dibawah pimpinan Hamid dan Sa’dullah. Ia banyak menulis artikel tentang islam
yang bersifat nasehat, anjura berbuat baik dan meninggalkan kejahatan dalam
bentuk Sya’ir.[5]
c)
Karya-karya A. Hassan
Karya-karya pemikiran A.Hassan baik
yang tertuang dalam bentuk buku maupun brosur yang berbahasa Indonesia mencakup
berbagai masalah agama seperti masalah taklid, kebebasan berpikir dan penolakan
terhadap bid’ah dan khurafat. Beberapa buku tersebut diantaranya.
1)
Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agam Jilid 1-1V. ( Buku
tersebut terbit pada tahun 1913 oleh kalangan Persatuan Islam)
2)
At-Tauhid ( Buku ini ditulis pada oleh A. Hassan pada tahun 1973,
buku ini menjadi pegangan bagi kalagan organisasi Persatuan Islam tentang
msalah kepercayaan kepada Allah)
3)
Situasi Politik, Sosial dan Agama di Indonesia. ( Buku ini ditulis
karena lahirnya pemikiran modern di awal abad Dua Puluhan. Buku ini merupakan
pemikiran A.Hassan yang mencoba mencetuskan pemikiran yang menjawab tantangan
di era Modern. Buku ini juga merupakan landasan pemikiran organisasi Persatuan
Islam)[6]
B.
Paradigma pemikiran A. Hassan Tentang Hadist
Kenabian, menurut
Ahmad Hassan, merupakan suatu kondisi yang tidak bisa diwariskan atau dicapai
melalui kehidupan yang saleh, dan tidak boleh dikacaukan dengan magic atau
ramalan yang bisa dipelajari.(1)
Ahmad Hassan
menyatakan bahwa Muhammad benar-benar Rasul yang diutus oleh Allah SWT untuk
membimbing umat manusia baik dalam masalah duniawi maupun unkhrawy. Ini ia
katakan dalam tujuannya menulis pamflet Benarkah Muhammad itu Rasul? Ia juga
menolak pandangan dari golongan Ahmadiah Qadian bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah
Nabi yang diutus oleh Allah untuk melanjtkan misi dari Nabi Muhammad SAW. Dalam
Al-Qur’an sudah jelas menyebutkan bahwa Nabi Muhammad adalah Khatam al-Nabiyin
(Q.S. Al-Ahzab: 40).(2)
Berbicara mengenai
pemikiran hadis tokoh yang dikenal sebagai ulama’ beraliran reformis dan
radikal dalam memutuskan hukum Islam ini, agaknya bukan merupakan hal asing
lagi. Sebagaimana yang telah penulis sampaikan, bahwasannya corak pemikiran A.
Hassan dipengaruhi pemikiran gerakan salafi. Berangkat dari hal tersebut
kiranya kurang lebih dapat dikatakan bahwa pemikiran hadis A. Hassan erat
kaitannya dengan pemikiran hadis ulama’salafi.
Menurut Ahmad Hassan,
hadis secara bahasa artinya berbicara, percakapan, sesuatu yang baru, dan
cerita. Adapun sunnah secara bahasa berarti perjalanan, perbuatan, dan
kebiasaan atau biasa disebut dengan sunnah qauly (the untterance), sunnah fi’li
(deed), sunnah taqriry (fixation or tacit approval). Hassan percaya bahwa
Sunnah telah dikodifikasi pertama kali pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz
(99-101), yang pertama mengirim surat kepada pemerintah Madinah Abu Bakr
Muhammad bin Umar bin Hazm, yang menginstruksikan untuk memulai melakukan
pembukuan terhadap sunnah. Dan ini berlanjut sampai munculnya kitab-kitab
hadis, yang paling famous ialah: Muwatta’ Imam Malik (w. 178), Shahih Bukhari
(w. 251), Shahih Muslim (w. 261), Musnad Ahmad (w. 241), Sunan Ibn Majah (w.
273), Sunan Abu Daud (w. 275), Sunan Al-Tirmidzi (w. 279) dan Sunan al-Nasa’i
(w. 303). Ahmad Hassan juga mengklasifikasikan hadis menjadi dua macam;
kualitas: Shahih (sound), hasan (fair of God) dan Dha’if (weak) dan kuantitas
Mutawatir, Ahad; Gharib, Masyhur, ‘Aziz.
Ahmad Hassan juga
mempunyai pendapat yang sama dengan para Ulama, bahwa Hadis merupakan sumber
utama Islam kedua setelah Al-Qur’an, yang secara otomatis Hadis tidak mungkin
bertentangan dengan Al-Qur’an. Adapun fungsi atau kedudukan hadis menurut
Hassan adalah penjelas dari Al-Qur’an. Dalam hal ini ia mengambil dalil dalam
Al-Qur’an surat Al-Nahl(16): 44 dan surat Al-Hasyr(59): 7.
Masih menurut Hassan,
Hadis bisa dijadikan landasan hukum (Hujjah) apabila memenuhi 3 (tiga) syarat;
harus berkualitas Shahih, bukan termasuk hadis yang mansukh, dan tidak
bertentangan dengan hadis lain yang lebih kuat (Autsaq) atau dengan Al-Qur’an.
Hadis yang tergolong kualitas Dha’if, masih bisa dipakai asalkan sejalan dengan
Al-Qur’an.(1)
Mengenai kritik hadis, menurut A. Hassan
kritik hadits pada aspek redaksional (matan) dan periwayatan. Kritik yang
dimaksud adalah hadits tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran sebagai rujukan
utama, tidak boleh bertentangan dengan hadits-hadits mutawatir atau
hadits-hadits yang lebih tinggi derajat keshahihannya. Sedangkan kritik pada
periwayatan lebih pada kritik metode penukilan hadits dan kritik rawi (Naqd
al-Rijal).
C.
Contoh
Penggunaan Al-Qur’an, Hadis dan Ijtihad Sebagai Sumber Tafsiran Ahmad Hassan
Sumber-Sumber
Penafsiran
Diantara sumber-sumber yang dijadikan rujukan oleh
A. Hassan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang terdapat dalam kitab
tafsirnya yaitu tafsir al-Furqan adalah:
·
Al-Qur’an
Penggunaan al-Qur’an sebagai sumber rujukan dalam
penafsiran ini menunjukkan bahwa A. Hassan mencoba memunculkan munasabah ayat
antara satu ayat dengan ayat lain.
Sebagaimana contoh penafsiran beliau dalam QS. al-Maidah ayat 1:
,,, أُحِلَّتْ لَكُمْ
بَهِيمَةُ الأنْعَامِ إِلا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ ,,,
….Dihalalkan
bagi kamu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu…
Hassan menambahkan penjelasan mengenai ayat tersebut
dalam catatan kaki no 642 bahwa yang dihalalkan adalah binatang-binatang ternak
seperti sapi, onta, dll. Sedangkan yang dimaksud yang diharamkan adalah hanya
empat perkara, yaitu: daging bangkai, darah, babi, dan sesuatu yang yang
disembelih untuk selain allah sebagaimana yang diterangkan dalam ayat
selanjutnya yaitu QS. al-Maidah ayat 3[7].
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ
الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا
أَكَلَ السَّبُعُ إِلا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ
تَسْتَقْسِمُوا بِالأزْلامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ….
·
Hadis
Sumber penafsiran kedua yang dipakai oleh A. Hassan
dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an adalah hadis. Hal ini terlihat jelas
dalam penafsiran beliau terhadap QS. al-Baqarah ayat 238 tentang shalat wusta.
حَافِظُوا
عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
Kerjakanlah
dengan tetap akan sembahyang-sembahyang dan akan sembahyang yang terlebih
penting, dan hendaklah kamu berdiri karena Allah dengan khusu
Dalam penafsiran ayat tersebut, A. Hassan memberikan
catatan kaki untuk kata sembahyang yang terlebih penting. Catatan kaki tersebut
menjelaskan bahwa maksudnya adalah shalat asar walaupun ada yang menafsirkannya
dengan shalat subuh[8].
Penafsiran A. Hassan ini sejalan dengan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh
Bukhari dalam kitab shahihnya[9]:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا الْأَنْصَارِيُّ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ حَسَّانَ
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سِيرِينَ حَدَّثَنَا عَبِيدَةُ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ
أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنَّا مَعَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْخَنْدَقِ فَقَالَ مَلَأَ
اللَّهُ قُبُورَهُمْ وَبُيُوتَهُمْ نَارًا كَمَا شَغَلُونَا عَنْ صَلَاةِ
الْوُسْطَى حَتَّى غَابَتْ الشَّمْسُ وَهِيَ صَلَاةُ الْعَصْرِ
Penafsiran semacam ini sejalan dengan pemikiran A.
Hassan dan organisasinya yaitu Persatuan Islam (Persis) yang menekankan bahwa
al-Qur’an dan hadis menyajikan islam dalam bentuknya yang murni. Selain itu, hal tersebut juga merupakan
konsistensi A. Hassan dengan jargonnya yaitu kembali kepada al-Qur’an dan hadis[10].
·
Ijtihad
Dalam wilayah kajian tafsir, ijtihad menjadi salah
satu faktor utama yang menentukan hasil penafsiran. Karena mau tidak mau,
ijtihad akan selalu digunakan oleh seorang mufassir dalam penafsirannya, tetapi
dalam porsi yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan si mufassir .
Salah satu bukti penggunaan ijtihad dalam
menafsirkan al-Qur’an terlihat dalam menafsirkan kata fitnah dalam QS.
Al-Baqarah 191:
….والفتنة
أشد من القتل.….
Padahal
fitnah itu terlebih (jahat) daripada pembunuhan
Dalam ayat tersebut, A. Hassan menafsirkan kata fitnah
dengan percobaan, gangguan, hasutan, siksaan, penganiyaan, penyusahan, dan lain
sebagainya. Dalam ayat ini fitnah dimaknai gangguan dan penganiyaan
orang-orang kafir terhadap orang-orang islam di waktu menjalankan agama dan
lainnya[11].
Selain itu juga, dalam menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an A. Hassan merujuk kepada kitab-kitab sebelumnya. Tetapi dalam
kitabnya tersebut, A. Hassan tidak
secara langsung menyebutkan bahwa beliau merujuk kepada kitab sebelumnya yaitu
kitab Tafsir al-Maraghi. Hanya saja, hal tersebut terlihat dalam penafsirannya
QS. Al-Mudatsir : 21
ثم
نظر
Kemudian
ia pikir-pikir
Dalam kitab tafsirnya, A. Hassan mengartikan نظر
dengan pikir-pikir. Pemilihan arti ini diduga tidak
lepas dari penafsiran ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Kata tersebut A. Hassan
pilih dari penafsiran surat yang sama ayat 18 :
إنّه
فكّر وقدّ ر
Sesungguhnya
ia pikir-pikir dan ia tetapkan
A Hassan merujuk pada sebuah riwayat tentang Walid
bin Mughirah yang berpikir tentang al-Qur’an yang dibaca oleh Nabi. Setelah itu
dia menetapkan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang ahli sihir[12].
Penafsiran seperti diatas juga dikemukakan oleh
al-Maraghi dalam tafsirnya[13]. Menurutnya, bahwa penafsiran mengenai QS.
Al-Mudatsir : 21 tersebut berarti al-Walid bin Mughirah memperhatikan al-Qur’an
dan memikirkannya untuk mencari cela, namun tidak menemukan. Sebagai
kelanjutannya, ayat 23 beliau tafsirkan bahwa al-Walid bin Mughirah memalingkan
diri dari kebenaran dan kesombongan, dia tidak mau mengakui kebenaran yang dia
ketahui.
BAB III
Penutup
Kesimpulan
Ahmad Hassan secara
tegas mengakui bahwa al-Quran dan al-Hadist merupakan sumber hukum agama Islam.
Al-Qur’an secara keseluruhan merupakan suatu yang bisa dijadikan dalil hukum,
sedangkan hadist merupakan penjelas al-Qur’an yang tidak mugkin bertentangan dengan
al-Qur’an.
Ahmad Hasan mendefinisikan hadis
sebagaimana dengan ulama’ pada umumnya. Masih menurut Hassan, Hadis bisa
dijadikan landasan hukum (Hujjah) apabila memenuhi 3 (tiga) syarat; harus
berkualitas Shahih, bukan termasuk hadis yang mansukh, dan tidak bertentangan
dengan hadis lain yang lebih kuat (Autsaq) atau dengan Al-Qur’an. Hadis yang
tergolong kualitas Dha’if, masih bisa dipakai asalkan sejalan dengan Al-Qur’an.
[1] G.f Pijiper, “Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam Di Indonesia 1900
– 1950”.(Jakarta: UI Press
1987 )
[2] Suryatiningsih, Skripsi Muhammad Abduh dan Ahmad Hassan ( Studi
Komparatif Studi Tentang Pemikiran Pembaruan Islam)
[3] Dadan, A.Hassan Ulama pejjuang penegak al-Qur’an dan Hadist,
hlm 18
[4] Mugni, “A. Hassan Bandung Pemikir Islam Radikal”, hlm 22
[6] Lihat Skripsi Muhammad
Abduh dan Ahmad Hassan ( Studi Komparatif Studi Tentang Pemikiran Pembaruan
Islam)
[7] A. Hassan, al-Furqan
fii Tafsir al-Qur’an (Surabaya: al-Ikhwan, 2007)hlm. 207
[8] A. Hassan, al-Furqan
……hlm. 75
[9] Shahih Bukhari : 5917
[10] Siti Rohmanatin
Fitriani, Perbandingan Metodologi Penafsiran A Hassan dalam Tafsir
al-Furqan dan HB Jassin Dalam al-Qur’an
al-Karim Bacaan Mulia, Skripsi Jurusan Tafsir Hadis, 2003
[11] A. Hassan, al-Furqan
……hlm. 54
[12] A. Hassan, al-Furqan
……hlm. 1154-1155
[13] Tafsir al-Maraghi,
CD Maktabah Syamilah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar