Selasa, 28 April 2015

Tokoh Ahli Hadis : Ahmad Hasan



BAB II
Pembahasan
A.    Riwayat Hidup Ahmad Hassan

a)      Latar Belakang Keluarga
Ahmad Hassan nama sebenarnya Hassan bin Ahmad, tetapi berdasarkan kelaziman penulisan nama orang di Singapura, yang menuliskan nama orang tua (ayah) di depan, maka Hassan bin Ahmad dikenal dengan panggilan Ahmad Hassan, untuk selanjutnya disebut A. Hassan.[1]
Ia lahir di Singapura pada tahun 1887, berasal dari keluarga campuran Indonesia dan India. Ayahnya bernama Ahmad, juga bernama Sinna Vappu Maricar. Yaitu orang India yang berasal dari Arab, yang diberi gelar pandit (pendeta), karena keturunan dan kealimannya. Adapun ibunya bernama Hajjah Musnah, seorang keturunan Palekat, Madras – India, tetapi lahir dari keluarga yang taat melaksanakan ajaran agama. Ahmad dan Muznah menikah di Surabaya, mereka bertemu ketika Ahmad berdagang di kota itu.[2]
b)      Latar Belakang Pendidikan
Pendidikan Ahmad Hassan sebagian besar diperoleh dari ayahnya ketika ia masih kecil. Ia boleh dikatakan tidak pernah memperoleh pendidikan formal sampai perguruan tinggi. Ia juga tidak pernah menyelesaikan sekolah dasarnya di singapura, karena pada umur 7 tahu ia sudah harus mulai belajar bekerja.
A. Hassan mulai bekerja mencari nafkah pada usia 12 tahun sambil berusaha belajar privat dan berusaha untuk menguasai bahasa Arab dengan maksud agar dapat memperdalam pengetahuannya tentang Islam. Ia belajar privat melalui beberapa gurunya di  antaranya: Muhammad Tholib dari Minto Road, H. Ahmad dari Bukittinggi, A. Lathif dari Malaka, Syekh Hasan dan Syekh IIbrahim dar Maribar dan India.[3]
Pada tahun 1911 ia menikah  di sngapura dengan peranakan Tamil Melayu  yang bernama Maryam. Dari hasil perkawinannya itu ia dikarunia tujuh orang anak yaitu: Abdul Kadir, jamilah, Abdul Hakim, Zulaikha, Ahmad, Muhammad Said dan Mansur.[4]
Sekitar tahun 1912-1913 ia menjadi anggota redaksi surat kabar Utusan Melayu ang diterbitkan oleh singapura press dibawah pimpinan Hamid dan Sa’dullah. Ia banyak menulis artikel tentang islam yang bersifat nasehat, anjura berbuat baik dan meninggalkan kejahatan dalam bentuk Sya’ir.[5]
c)      Karya-karya A. Hassan
Karya-karya pemikiran A.Hassan baik yang tertuang dalam bentuk buku maupun brosur yang berbahasa Indonesia mencakup berbagai masalah agama seperti masalah taklid, kebebasan berpikir dan penolakan terhadap bid’ah dan khurafat. Beberapa buku tersebut diantaranya.
1)      Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agam Jilid 1-1V. ( Buku tersebut terbit pada tahun 1913 oleh kalangan Persatuan Islam)
2)      At-Tauhid ( Buku ini ditulis pada oleh A. Hassan pada tahun 1973, buku ini menjadi pegangan bagi kalagan organisasi Persatuan Islam tentang msalah kepercayaan kepada Allah)
3)      Situasi Politik, Sosial dan Agama di Indonesia. ( Buku ini ditulis karena lahirnya pemikiran modern di awal abad Dua Puluhan. Buku ini merupakan pemikiran A.Hassan yang mencoba mencetuskan pemikiran yang menjawab tantangan di era Modern. Buku ini juga merupakan landasan pemikiran organisasi Persatuan Islam)[6]
B.     Paradigma pemikiran A. Hassan Tentang Hadist
       Kenabian, menurut Ahmad Hassan, merupakan suatu kondisi yang tidak bisa diwariskan atau dicapai melalui kehidupan yang saleh, dan tidak boleh dikacaukan dengan magic atau ramalan yang bisa dipelajari.(1)
       Ahmad Hassan menyatakan bahwa Muhammad benar-benar Rasul yang diutus oleh Allah SWT untuk membimbing umat manusia baik dalam masalah duniawi maupun unkhrawy. Ini ia katakan dalam tujuannya menulis pamflet Benarkah Muhammad itu Rasul? Ia juga menolak pandangan dari golongan Ahmadiah Qadian bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi yang diutus oleh Allah untuk melanjtkan misi dari Nabi Muhammad SAW. Dalam Al-Qur’an sudah jelas menyebutkan bahwa Nabi Muhammad adalah Khatam al-Nabiyin (Q.S. Al-Ahzab: 40).(2)
       Berbicara mengenai pemikiran hadis tokoh yang dikenal sebagai ulama’ beraliran reformis dan radikal dalam memutuskan hukum Islam ini, agaknya bukan merupakan hal asing lagi. Sebagaimana yang telah penulis sampaikan, bahwasannya corak pemikiran A. Hassan dipengaruhi pemikiran gerakan salafi. Berangkat dari hal tersebut kiranya kurang lebih dapat dikatakan bahwa pemikiran hadis A. Hassan erat kaitannya dengan pemikiran hadis ulama’salafi.
       Menurut Ahmad Hassan, hadis secara bahasa artinya berbicara, percakapan, sesuatu yang baru, dan cerita. Adapun sunnah secara bahasa berarti perjalanan, perbuatan, dan kebiasaan atau biasa disebut dengan sunnah qauly (the untterance), sunnah fi’li (deed), sunnah taqriry (fixation or tacit approval). Hassan percaya bahwa Sunnah telah dikodifikasi pertama kali pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-101), yang pertama mengirim surat kepada pemerintah Madinah Abu Bakr Muhammad bin Umar bin Hazm, yang menginstruksikan untuk memulai melakukan pembukuan terhadap sunnah. Dan ini berlanjut sampai munculnya kitab-kitab hadis, yang paling famous ialah: Muwatta’ Imam Malik (w. 178), Shahih Bukhari (w. 251), Shahih Muslim (w. 261), Musnad Ahmad (w. 241), Sunan Ibn Majah (w. 273), Sunan Abu Daud (w. 275), Sunan Al-Tirmidzi (w. 279) dan Sunan al-Nasa’i (w. 303). Ahmad Hassan juga mengklasifikasikan hadis menjadi dua macam; kualitas: Shahih (sound), hasan (fair of God) dan Dha’if (weak) dan kuantitas Mutawatir, Ahad; Gharib, Masyhur, ‘Aziz.
       Ahmad Hassan juga mempunyai pendapat yang sama dengan para Ulama, bahwa Hadis merupakan sumber utama Islam kedua setelah Al-Qur’an, yang secara otomatis Hadis tidak mungkin bertentangan dengan Al-Qur’an. Adapun fungsi atau kedudukan hadis menurut Hassan adalah penjelas dari Al-Qur’an. Dalam hal ini ia mengambil dalil dalam Al-Qur’an surat Al-Nahl(16): 44 dan surat Al-Hasyr(59): 7.
       Masih menurut Hassan, Hadis bisa dijadikan landasan hukum (Hujjah) apabila memenuhi 3 (tiga) syarat; harus berkualitas Shahih, bukan termasuk hadis yang mansukh, dan tidak bertentangan dengan hadis lain yang lebih kuat (Autsaq) atau dengan Al-Qur’an. Hadis yang tergolong kualitas Dha’if, masih bisa dipakai asalkan sejalan dengan Al-Qur’an.(1)
       Mengenai kritik hadis, menurut A. Hassan kritik hadits pada aspek redaksional (matan) dan periwayatan. Kritik yang dimaksud adalah hadits tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran sebagai rujukan utama, tidak boleh bertentangan dengan hadits-hadits mutawatir atau hadits-hadits yang lebih tinggi derajat keshahihannya. Sedangkan kritik pada periwayatan lebih pada kritik metode penukilan hadits dan kritik rawi (Naqd al-Rijal).

C.     Contoh Penggunaan Al-Qur’an, Hadis dan Ijtihad Sebagai Sumber Tafsiran Ahmad Hassan
Sumber-Sumber Penafsiran
Diantara sumber-sumber yang dijadikan rujukan oleh A. Hassan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang terdapat dalam kitab tafsirnya yaitu tafsir al-Furqan adalah:
·         Al-Qur’an
Penggunaan al-Qur’an sebagai sumber rujukan dalam penafsiran ini menunjukkan bahwa A. Hassan mencoba memunculkan munasabah ayat antara satu ayat dengan ayat lain.  Sebagaimana contoh penafsiran beliau dalam QS. al-Maidah ayat 1:
 ,,, أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الأنْعَامِ إِلا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ ,,,
….Dihalalkan bagi kamu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu
Hassan menambahkan penjelasan mengenai ayat tersebut dalam catatan kaki no 642 bahwa yang dihalalkan adalah binatang-binatang ternak seperti sapi, onta, dll. Sedangkan yang dimaksud yang diharamkan adalah hanya empat perkara, yaitu: daging bangkai, darah, babi, dan sesuatu yang yang disembelih untuk selain allah sebagaimana yang diterangkan dalam ayat selanjutnya yaitu QS. al-Maidah ayat 3[7].
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالأزْلامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ….
·         Hadis
Sumber penafsiran kedua yang dipakai oleh A. Hassan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an adalah hadis. Hal ini terlihat jelas dalam penafsiran beliau terhadap QS. al-Baqarah ayat 238 tentang shalat wusta.
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
Kerjakanlah dengan tetap akan sembahyang-sembahyang dan akan sembahyang yang terlebih penting, dan hendaklah kamu berdiri karena Allah dengan khusu
Dalam penafsiran ayat tersebut, A. Hassan memberikan catatan kaki untuk kata sembahyang yang terlebih penting. Catatan kaki tersebut menjelaskan bahwa maksudnya adalah shalat asar walaupun ada yang menafsirkannya dengan shalat subuh[8]. Penafsiran A. Hassan ini sejalan dengan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab shahihnya[9]:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا الْأَنْصَارِيُّ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ حَسَّانَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سِيرِينَ حَدَّثَنَا عَبِيدَةُ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْخَنْدَقِ فَقَالَ مَلَأَ اللَّهُ قُبُورَهُمْ وَبُيُوتَهُمْ نَارًا كَمَا شَغَلُونَا عَنْ صَلَاةِ الْوُسْطَى حَتَّى غَابَتْ الشَّمْسُ وَهِيَ صَلَاةُ الْعَصْرِ

Penafsiran semacam ini sejalan dengan pemikiran A. Hassan dan organisasinya yaitu Persatuan Islam (Persis) yang menekankan bahwa al-Qur’an dan hadis menyajikan islam dalam bentuknya yang murni.  Selain itu, hal tersebut juga merupakan konsistensi A. Hassan dengan jargonnya yaitu kembali kepada al-Qur’an dan hadis[10].
·         Ijtihad
Dalam wilayah kajian tafsir, ijtihad menjadi salah satu faktor utama yang menentukan hasil penafsiran. Karena mau tidak mau, ijtihad akan selalu digunakan oleh seorang mufassir dalam penafsirannya, tetapi dalam porsi yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan si mufassir .
Salah satu bukti penggunaan ijtihad dalam menafsirkan al-Qur’an terlihat dalam menafsirkan kata fitnah dalam QS. Al-Baqarah 191:
….والفتنة أشد من القتل.….
Padahal fitnah itu terlebih (jahat) daripada pembunuhan
Dalam ayat tersebut, A. Hassan menafsirkan kata fitnah dengan percobaan, gangguan, hasutan, siksaan, penganiyaan, penyusahan, dan lain sebagainya. Dalam ayat ini fitnah dimaknai gangguan dan penganiyaan orang-orang kafir terhadap orang-orang islam di waktu menjalankan agama dan lainnya[11].
Selain itu juga, dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an A. Hassan merujuk kepada kitab-kitab sebelumnya. Tetapi dalam kitabnya tersebut,  A. Hassan tidak secara langsung menyebutkan bahwa beliau merujuk kepada kitab sebelumnya yaitu kitab Tafsir al-Maraghi. Hanya saja, hal tersebut terlihat dalam penafsirannya QS. Al-Mudatsir : 21
ثم نظر
Kemudian ia pikir-pikir
Dalam kitab tafsirnya, A. Hassan mengartikan نظر dengan pikir-pikir. Pemilihan arti ini diduga tidak lepas dari penafsiran ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Kata tersebut A. Hassan pilih dari penafsiran surat yang sama ayat 18 :
إنّه فكّر وقدّ ر
Sesungguhnya ia pikir-pikir dan ia tetapkan
A Hassan merujuk pada sebuah riwayat tentang Walid bin Mughirah yang berpikir tentang al-Qur’an yang dibaca oleh Nabi. Setelah itu dia menetapkan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang ahli sihir[12].
Penafsiran seperti diatas juga dikemukakan oleh al-Maraghi dalam tafsirnya[13].  Menurutnya, bahwa penafsiran mengenai QS. Al-Mudatsir : 21 tersebut berarti al-Walid bin Mughirah memperhatikan al-Qur’an dan memikirkannya untuk mencari cela, namun tidak menemukan. Sebagai kelanjutannya, ayat 23 beliau tafsirkan bahwa al-Walid bin Mughirah memalingkan diri dari kebenaran dan kesombongan, dia tidak mau mengakui kebenaran yang dia ketahui.










BAB III
Penutup
Kesimpulan
      Ahmad Hassan secara tegas mengakui bahwa al-Quran dan al-Hadist merupakan sumber hukum agama Islam. Al-Qur’an secara keseluruhan merupakan suatu yang bisa dijadikan dalil hukum, sedangkan hadist merupakan penjelas al-Qur’an yang tidak mugkin bertentangan dengan al-Qur’an.
Ahmad Hasan mendefinisikan hadis sebagaimana dengan ulama’ pada umumnya. Masih menurut Hassan, Hadis bisa dijadikan landasan hukum (Hujjah) apabila memenuhi 3 (tiga) syarat; harus berkualitas Shahih, bukan termasuk hadis yang mansukh, dan tidak bertentangan dengan hadis lain yang lebih kuat (Autsaq) atau dengan Al-Qur’an. Hadis yang tergolong kualitas Dha’if, masih bisa dipakai asalkan sejalan dengan Al-Qur’an.



[1] G.f Pijiper, “Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam Di Indonesia 1900 – 1950”.(Jakarta: UI Press  1987 )
[2] Suryatiningsih, Skripsi Muhammad Abduh dan Ahmad Hassan ( Studi Komparatif Studi Tentang Pemikiran Pembaruan Islam)
[3] Dadan, A.Hassan Ulama pejjuang penegak al-Qur’an dan Hadist, hlm 18
[4] Mugni, “A. Hassan Bandung Pemikir Islam Radikal”, hlm 22

[6] Lihat  Skripsi Muhammad Abduh dan Ahmad Hassan ( Studi Komparatif Studi Tentang Pemikiran Pembaruan Islam)
[7] A. Hassan, al-Furqan fii Tafsir al-Qur’an (Surabaya: al-Ikhwan, 2007)hlm. 207
[8] A. Hassan, al-Furqan ……hlm. 75
[9] Shahih Bukhari : 5917
[10] Siti Rohmanatin Fitriani, Perbandingan Metodologi Penafsiran A Hassan dalam Tafsir al-Furqan  dan HB Jassin Dalam al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia, Skripsi Jurusan Tafsir Hadis, 2003
[11] A. Hassan, al-Furqan ……hlm. 54
[12] A. Hassan, al-Furqan ……hlm. 1154-1155
[13] Tafsir al-Maraghi, CD Maktabah Syamilah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar