Syah
Waliyullah al Dihlawi | Ilmuwan Terkemuka dari Delhi[1]
A.
Profil Syah
Waliyullah Ad Dihlawi
Nama lengkapnya adalah Qutb Al Din Ahmad ibn al Syahid ibn Muazzam
ibn Mansur ibn Ahmad ibn Mahmud ibn Qiwam al Din dan lebih dikenal dengan
sebutan Syah Waliyullah al Dihlawi. Lahir pada hari Rabu, 4 Syawal 1214/ 21
februari 1703 di Delhi[2]. Ia adalah anak
pertama dari perkawinan ayahnya[3] yang kedua pada
usia 60 tahun[4]. Ayahnya seorang
pengamal Thariqat Naqsabandiyah Khistiyah dan Qadiriyah.[5]
Syah Waliyullah termasuk orang yang cerdas. Pada usia yang ketujuh,
ketika ia untuk pertama kalinya khatam al Qur’an, ia sudah bisa membaca
risalah-risalah berbahsa Persia. Ia menikah di usia yang sangat dini, yakni 14
tahun atas desakan ayahnya.[6]
Al Dihlawi masuk thariqat Naqsabandiyah saat berumur 15
tahun dibawah bimbingan ayahnya[7]. Ia memiliki 2
orang istri[8]. Dari istri
pertamanya, ia mendapatkan Syah Muhammad (putra) dan ‘Ammat al Aziz (putri). Sedangkan
dari istri keduanya, ia mendapatkan 4 orang putra dan seorang putri.
Al Dihlawi berangkat menunaikan ibadah haji di
bulan April 1731 M/ 1143 H. Ia lantas menetap di Mekkah selama 14 bulan dan
kembali ke Delhi pada Desember 1732 M. terdapat kontroversi mengenai tinggalnya
Syah Waliyullah di Hijaz setealh haji. Ada yang berpendapat bahwa ia lebih
dahulu menetap di Hijaz karena ingin memperluas ilmunya. Namun menurut M
Mujeeb, tindakannya ini dikarenakan al Dihlawi ingin menghindari reaksi dari
ulam konservatif yang tidak setuju terhadap perbuatannya yang telah
menerjemahkan al Qur’an kedalam bahasa Persia. Karena menerjemahkan al Qur’an
ke dalam bahasa lain adalah sesuatu yang sangat berani pada saat itu.[9]
Kehidupan di Hejaz[10] tentu saja
mempengaruhi cara berfikirnya dalam permasalahan hadits, fiqh, dan tasawuf.
Pengaruh terbesar ia dapatkan dari Syeikh AbuThahir al Kurdi al Madani (w
1733), Syaikh Wafdullah al Makki, dan Syaikh al Din al Qalai al hanafi (w
1734).[11] Guru-gurunya di
Mekkah memperkenalkan kosmopolitanisme ilmu hadits yang mulai berkembang dengan
pesat pada abad ke 18, seiring terjadinya percampuran berbagai tradisi kajian
dan metode pengujian hadits yang berbeda-beda. Saat di Mekkah ia memberikan
perhatian khusus pada kitab al Muwattha[12],
karangan Imam Malik dan nantinya ia menulis dua buah buku tentang ulasannya
dengan judul Musawa dan Mushaffa. Selain itu, di kota ini ia juga
sering mendapat pengalaman mistis berupa mimpi istimewa bertemu dengan Nabi
SAW.
B.
Pemikiran Ad
Dihlawi (Klasifikasi Sunnah).[13]
Al Dihlawi membagi sunnah menjadi dua: Pertama, sunnah disampaikan Nabi sebagai risalah dalam
kapasitasnya sebagai “utusan Allah”. Contohnya seperti ilmu akhirat,
mu’jizat-mu’jizat, dan ketentuan-ketentuan tentang ibadah, juga hikam
mursalah (kebijakan-kebijakan praktis) dan mashalih mutlaqah (kemaslahatan
mutlak) yang tidak ditetapkan untuk waktu tertentu dan tidak pula ada
batasannya.
Kedua, sunnah disampaikan bukan dalam
kapasitas Nabi sebagai pembawa risalah. Memandang hadits dalam masalah ilmu
pengetahuan medis misalnya, al Dihlawi cenderung mengatakan bahwa segala macam
jenis informasi dari Nabi SAW tentang bentuk-bentuk pengobatan itu benar, namun
tidak termasuk dalam konteks peribadatan dan tasyri (tidak terkait
dengan masalah syariah).
C.
Metode
Masyarakat dalam Menerima Syariat Ilahi
Al Dihlawi membagi
metode masyarakat dalam menerima syariat Ilahi kedalam dua bagian;
Pertama, melalui jalur
periwayatan berupa riwayat mutawatir dan non mutawatir. Kekurangan metode ini
menurut al Dihlawi adalah adanya perubahan yang masuk melalui riwayat bil
ma’na.
Kedua, melalui
petunjuk sahabat yang melihat perilaku Nabi SAW, kemudian mereka mengambilnya
sebagai dalil-dalil hukum wajib, sunnah, makruh, mubah, dan haram. Kekurangan
metode ini adalah terlibatnya ijtihah sahabat, tabiin, ulama dengan deduksi
hukum yang mereka ambil dari al Qur’an dan
hadits sedangkan mereka tidak selalu benar.[14]
D.
Tingkatan
Kitab Hadits Menurut al Dihlawi
Secara umum tingkatan yang disodorkan oleh al Dihlawi sama dengan
standar ulama lain.[15] Yang menarik dan
berbeda adalah al Dihlawi memasukkan kitab Imam Malik, al Muwattha, sejajar
dengan kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Padahal kitab ini tidak
termasuk kedalam kutub sittah meski masuk kedalam kutub tis’ah.[16]
Hal ini karena menurutnya al Muwattha merupakan bekal pokok bagi madzhab
Maliki, pegangan Syafi’I dan Ahmad, serta pelita bagi Abu Hanifah. Hubungan
madzhab-madzhab ini dengan al Muwathha tak ubahnya hubungan matan dengan
kitab syarahnya sedang kitab yang lima adalah sebagai pelengkap kekurangan al
Muwattha.
E.
Metode al Dihlawi
dalam Mengambil Keputusan Atas Hadits yang Kontradiktif
Sebagaimana ditegaskan dalam kitab Hujjatul Balighah
karangan beliau, bahwa metode yang beliau gunakan adalah al jam’u, tarjih,
nasikh-mansukh, dan tawaquf. Dengan begitu metode yang digunakan al
Dihlawi tidak berbeda jauh dengan para ulama lainnya.
F.
Respon Umat
Islam terhadap Pemikiran Hadis al Dihlawi
Jika diklasifikasikan ada tiga kelompok umat islam yang merespon
dengan cara berbeda terhadap pemikiran al Dihlawi. Yaitu;
Pertama, kelompok yang
ingin menjadikan seluruh hadits sebagai hukum yang harus dan wajib dikuti.
Kelompok ini kurang sepakat dengan pendapat dan pemikiran al Dihlawi.[17]
Kedua, kelompok yang
sepakat dengan pemikiran al Dihlawi karena menganggap pemikirannya sangat
moderat.[18]
Ketiga, kelompok yang
mengasingkan sunnah dari seluruh persoalan praktis kehidupan.[19]
G.
Kritik
Jauharatul Masruroh Terhadap al Dihlawi
Didalam kitabnya, al Dihlawi menyebutkan bahwa kesepakatan sebagian
sahabat bukan merupakan salah satu sumber syariat. Sehingga dapat diambil
kesimpulan bahwa al Dihlawi membedakan kredibilitas sahabat. Dan membatasi
hanya kepada al Khulafa Rasyidin saja. Menurut Jauharatul Masrurah hal
tersebut tidak konsisten dengan peletakan kitab al Muwattha karya Imam
Malik yang setara dengan shahih Bukhari dan Muslim. Karena dalam
kitab al Muwattha juga memuat atsar sahabat selain khulafa
Rasyidin.
H.
Kritikan
Terhadap Tulisan Jauharatul Masruroh
Melihat dari tulisan saudari Jauharatul Masruroh ada beberapa
kritikan yang bisa diambil. Yaitu;
Pertama, saudari Jauharatul Masruroh kurang
cermat dalam mengelaborasi data. Melihat dari susunan bahasan yang disampaikan,
beliau baru pada tahap “menyajikan” data mentah. Padahal data mentah tersebut
jika dikaitkan dan dianalisis secara cermat akan mengungkap fakta-fakta yang
lain. Selain itu juga focus dan arah penggalian informasi tentang al Dihlawi
masih terlalu global. Padahal jika mengacu pada judul utama yang diangkat oleh
Jauharatul Masruroh, seharusnya pembahasan lebih mengerucut terhadap wacana
hadits dalam pemikiran al Dihlawi.
Kedua, peresensi masih mencoba menelisik
sumber data yang diambil oleh JM. Memang jika mengacu pada footnote,
keterangannya menyebutkan bahwa JM banyak mengambil data lewat salah satu kitab
al Dihlawi, Hujjatul Balighah. Namun perensi merasa perlu untuk
melakukan crosscheck dan konfirmasi ulang data lewat salah satu skripsi
yang ditulis oleh alumni TH. Perensi mensinyalir bahwa data yang ada dalam
tulisan JM dicatut secara full dari skripsi tersebut.
I.
Kritikan
Peresensi Terhadap al Dihlawi
Berikut ini adalah kritikan peresensi terhadap pemikiran al
Dihlawi;
Pertama, mengenai klasifikasi sunnah. al
Dihlawi membagi sunnah mejadi dua; sunnah dalam kapasitas Nabi sebagai Utusan
Allah dan sunnah dalam konteks Nabi sebagai manusia biasa. Klasifikasi ini
menurut peresensi justru menghasilkan penilaian yang parsial terhadap Nabi.
Dalam opini peresensi, kapasitas Nabi tidak bisa dipecah-pecah. Karena posisi
dan peran Nabi tidak seperti baju yang bisa dilepas dan ditanggalkan. Sehingga
saat Nabi berperan sebagai Rasul, pada saat itu pula Nabi melakoni peran
sebagai manusia biasa.
Jadi yang perlu dilakukan untuk mendapatkan pemahaman yang
komprehensif terhadap hadist Nabi bukanlah dengan membeda-bedakan posisi Nabi,
namun lebih kepada menggali meaning pesan Nabi yang terbungkus oleh
fragmen konteks. Misalnya dalam kasus kesalahan Nabi dalam pendapatnya mengenai
cara pertanian anggur. Dalam kasus ini, yang kita lakukan bukanlah menganggap
Nabi tengah meninggalkan posisinya sebagai Nabi karena sedang berpendapat
mengenai isu pertanian. Namun justru melihatnya sebagai pembuktian sisi
kemanusian diri Nabi. Bahwa seorang Nabi pun tidak selamanya benar. Pengetahuannya
masih dibatasi oleh pengetahuan pada masa itu.
Kedua, mengenai tindakan al Dihlawi yang menilai
ijtihad para sahabat dan tabi’in sebagai sebuah kekurangan. Peresensi justru
melihatnya dari perspetif lain. Bahwa ijtihad sahabat, tabi’in, dan ulama justru
sebuah bentuk “resepsi” mereka terhadap penerimaan hadits. Mereka berusaha
melakukan kontekstualisasi berdasarkan bingkai masanya. Sehingga tidak tepat
rasanya jika mengatakan bahwa hasil ijtihad atau penafsiran ulama klasik
sebagai bentuk penafsiran kuno atau tidak relevan. Seolah-olah ijtihad mereka
merupakan hasil asal-asalan. Padahal seharusnya difahami kalau ijtihad mereka
sudah tepat dan relevan untuk masanya. Hanya saja konteks masa itu dan sekarang
berbeda. Mereka tidak berusaha mereduksi pesan. Namun karena mereka sendiri
berusaha mengkontekstualisasikan, sehingga pesan yang ada dalam hadits
dibungkus ulang. Tugas saat ini adalah membuka bungkusan tersebut.
[1] Resensi atas tulisan saudari Jauharatul Masrurah dalam buku “ Yang
Membela dan Yang Menggugat”
[2] Pada tahun tersebut, puncak kekuasaan dipegang oleh Kerajaan
Dinasti Utsmani dibawah pimpinan Khalifah Ahmad III (1703-1730). Lihat: http://surtachi.wordpress.com/2012/05/29/masa-3-kerajaan-besar-islam/
diakses pada Pkl: 3:03 29 September 2012
[3] Efek dari pola pernikahan ayahnya yang poligami dalam pandangan
peresensi, menjadi salah satu unsur yang mempengaruhi prinsip dan pola
pernikahan al Dihlawi di masa depannya. Budaya masa itu yang patriarki semakin
mengukuhkan adanya tradisi poligami yang kuat di masyarakat. Ditambah dengan
posisi ayah al Dihlawi yang notabene seorang tokoh dimasanya sehingga
mempermudah untuk melakukan poligami. Sebagaimana yang kita tahu bahwa posisi
dan jabatan seseorang sangat berpengaruh dalam status sosial di masyarakat.
Dengan posisi sebagai tokoh thariqat, maka sangat mudah untuk melakukan
poligami.
[4] Usia 60 sebenarnya sudah tergolong usia tua pada masa ini. Namun
dengan kultur poligami yang kuat, usia tidak menjadi halangan seorang laki-laki
untuk menikah lagi.
[5] Perlu diketahui bahwa tiap sekte thariqat memiliki
karakteristik yang beragam. Peresensi membaginya kedalam beberapa bagian: pertama,
Thariqat rhesus murni. Thariqat semacam ini berdiri sendiri dan
tidak bisa menyatu dengan bentuk thariqat lain. Disamping karena prinsipnya
yang bertolak belakang, juga karena ritus atau ritualnya yang berbeda secara
signifikan. Kedua, thariqat rhesus campuran. Thariqat ini
bisa diamalkan secara ganda dengan thariqat lain yang tipenya rhesus
campuran. Hal ini dikarenakan prinsip thariqat-tahriqat ini tidak terlalu berbeda jauh baik dalam
hal aturan maupun ritual. Diantara thariqat
tipe ini adalah thariqat Naqsabandiyah dan Qadiriyah. Banyak
para salik dan mursyid yang mengamalkannya secara ganda. Baca
juga tentang gabungan naqsabandiyah dengan qadiriyah: lihat: http://www.suryalaya.org/tqn1.html diakses pada Pkl: 3:08 29
September 2012
[6] Dari kejadian ini bisa diamati bahwa prinsip poligami yang telah
diamalkan ayahnya sangat berpengaruh terhadap kehidupan al Dihlawi sendiri. Al
Dihlawi harus mengikuti pola ayahnya untuk menikah di usia dini.
[7] Pengaruh ketokohan ayah al Dihlawi sangat berperan dalam proses
pengenalan dunia tasawuf kepada al Dihlawi. Sehingga bisa dikatakan sang ayah
berperan sebagai seorang ayah sekaligus seorang mursyid bagi al Dihlawi.
[8] Sekali lagi bukti bahwa pola poligami menurun dari sang ayah. Jika
melacak dari sejarah masa itu, memang praktik poligami menjadi praktik yang
paling digemari.
[9] Sebagaimana yang dikutip oleh Jauharatul Masruroh (penulis artikel)
bahwa pendapat M Mujeeb tidak dapat dibuktikan sebab dalam kata pengantar
terjemahnya al Dihlawi mengatakan bahwa setelah selesainya surat al Baqarah dan
Ali Imran ia belum dapat melanjutkan sebab harus berangkat ke Mekkah dan
Madinah. Detail lebih lengkap: Siti Masfufah “ Kodifikasi Sunnah Menurut
Pemikiran Syah Waliyullah al Dihlawi” hlm 45.
[10] Kota Hijaz pada masa itu memang menjadi pusat keilmuan. Sehingga
tak heran jika para penuntut ilmu berdatangan dari berbagai penjuru untuk
menggali ilmu di kota ini. Banyaknya ulama yang ada di Hijaz juga berpengaruh
terhadap arus pemikiran yang ada saat itu. Pemikiran dari ulama yang ada di
Hijaz acapkali menjadi patokan untuk ulama di kota lain.
[11] Pengaruh-pengaruhnya akan terlihat dari pemikiran al Dihlawi
mengenai hadits. Termasuk klasifikasi sunnah dlama versi beliau.
[12] Perhatian besar al Dihlawi terhadap al Muwattha, kelak akan
membuat al Dihlawi memasukkan posisi kitab tersebut di puncak strata sejajar
dengan Shahih Bukhari dan Muslim.
[13] Kritikan peresensi sendiri terhadap pemikiran al Dihlawi bisa
ditemukan di akhir resensi ini.
[14] Mengenai kritikan peresensi terhadap metode ini bisa ditemukan di
akhir resensi.
[15] Perlu diketahui bahwa tingkatan kitab hadits rata-rata menempatkan Shahih
Bukhari dan Muslim di posisi tertinggi dari tingkatan hadits.
Alasannya adalah karena kedua kitab ini dalam pandangan mayoritas ulama memenuhi
persyaratan penerimaan hadits yang sangat selektif.
[16] Mayoritas ulama tidak memasukkan al Muwattha kedalam kutub
sittah. Hanya ada beberapa yang memasukkannya ke dalam kutub tis’ah.
[17] Kelompok ini merupaka cerminan kelompok tradisionalis-tekstualis
yang mengusung pemahaman tekstual terhadap nash hadits. Kelompok ini
kurang setuju dengan al Dihlawi yang mengklasifikasikan hadits secara berbeda.
Sedangkan dalam pandangan kelompok ini, hadits dianggap sama secara
keseluruhan.
[18] Kelompok ini mewakili para Muhadditsun kontemporer yang
mengambil arah aliran moderat.
[19] Kelompok ini mewaliki kelompok skeptis terhadap hadits. Yang
meyakini bahwa hadits tidak bisa dijadikan acuan dan tidak bisa diakui
validitasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar