Selasa, 28 April 2015

Tokoh Ahli Hadis : Syah Waliyyullah Al Dihlawi



Syah Waliyullah al Dihlawi | Ilmuwan Terkemuka dari Delhi[1]
A.    Profil Syah Waliyullah Ad Dihlawi
Nama lengkapnya adalah Qutb Al Din Ahmad ibn al Syahid ibn Muazzam ibn Mansur ibn Ahmad ibn Mahmud ibn Qiwam al Din dan lebih dikenal dengan sebutan Syah Waliyullah al Dihlawi. Lahir pada hari Rabu, 4 Syawal 1214/ 21 februari 1703 di Delhi[2]. Ia adalah anak pertama dari perkawinan ayahnya[3] yang kedua pada usia 60 tahun[4]. Ayahnya seorang pengamal Thariqat Naqsabandiyah Khistiyah dan Qadiriyah.[5]
Syah Waliyullah termasuk orang yang cerdas. Pada usia yang ketujuh, ketika ia untuk pertama kalinya khatam al Qur’an, ia sudah bisa membaca risalah-risalah berbahsa Persia. Ia menikah di usia yang sangat dini, yakni 14 tahun atas desakan ayahnya.[6]
Al Dihlawi masuk thariqat Naqsabandiyah saat berumur 15 tahun dibawah bimbingan ayahnya[7]. Ia memiliki 2 orang istri[8]. Dari istri pertamanya, ia mendapatkan Syah Muhammad (putra) dan ‘Ammat al Aziz (putri). Sedangkan dari istri keduanya, ia mendapatkan 4 orang putra dan seorang putri.
Al Dihlawi berangkat menunaikan ibadah haji di bulan April 1731 M/ 1143 H. Ia lantas menetap di Mekkah selama 14 bulan dan kembali ke Delhi pada Desember 1732 M. terdapat kontroversi mengenai tinggalnya Syah Waliyullah di Hijaz setealh haji. Ada yang berpendapat bahwa ia lebih dahulu menetap di Hijaz karena ingin memperluas ilmunya. Namun menurut M Mujeeb, tindakannya ini dikarenakan al Dihlawi ingin menghindari reaksi dari ulam konservatif yang tidak setuju terhadap perbuatannya yang telah menerjemahkan al Qur’an kedalam bahasa Persia. Karena menerjemahkan al Qur’an ke dalam bahasa lain adalah sesuatu yang sangat berani pada saat itu.[9]
Kehidupan di Hejaz[10] tentu saja mempengaruhi cara berfikirnya dalam permasalahan hadits, fiqh, dan tasawuf. Pengaruh terbesar ia dapatkan dari Syeikh AbuThahir al Kurdi al Madani (w 1733), Syaikh Wafdullah al Makki, dan Syaikh al Din al Qalai al hanafi (w 1734).[11] Guru-gurunya di Mekkah memperkenalkan kosmopolitanisme ilmu hadits yang mulai berkembang dengan pesat pada abad ke 18, seiring terjadinya percampuran berbagai tradisi kajian dan metode pengujian hadits yang berbeda-beda. Saat di Mekkah ia memberikan perhatian khusus pada kitab al Muwattha[12], karangan Imam Malik dan nantinya ia menulis dua buah buku tentang ulasannya dengan judul Musawa dan Mushaffa. Selain itu, di kota ini ia juga sering mendapat pengalaman mistis berupa mimpi istimewa bertemu dengan Nabi SAW.


B.     Pemikiran Ad Dihlawi (Klasifikasi Sunnah).[13]
Al Dihlawi membagi sunnah menjadi dua: Pertama,  sunnah disampaikan Nabi sebagai risalah dalam kapasitasnya sebagai “utusan Allah”. Contohnya seperti ilmu akhirat, mu’jizat-mu’jizat, dan ketentuan-ketentuan tentang ibadah, juga hikam mursalah (kebijakan-kebijakan praktis) dan mashalih mutlaqah (kemaslahatan mutlak) yang tidak ditetapkan untuk waktu tertentu dan tidak pula ada batasannya.
Kedua, sunnah disampaikan bukan dalam kapasitas Nabi sebagai pembawa risalah. Memandang hadits dalam masalah ilmu pengetahuan medis misalnya, al Dihlawi cenderung mengatakan bahwa segala macam jenis informasi dari Nabi SAW tentang bentuk-bentuk pengobatan itu benar, namun tidak termasuk dalam konteks peribadatan dan tasyri (tidak terkait dengan masalah syariah).
C.     Metode Masyarakat dalam Menerima Syariat Ilahi
Al Dihlawi membagi metode masyarakat dalam menerima syariat Ilahi kedalam dua bagian;
Pertama, melalui jalur periwayatan berupa riwayat mutawatir dan non mutawatir. Kekurangan metode ini menurut al Dihlawi adalah adanya perubahan yang masuk melalui riwayat bil ma’na.
Kedua, melalui petunjuk sahabat yang melihat perilaku Nabi SAW, kemudian mereka mengambilnya sebagai dalil-dalil hukum wajib, sunnah, makruh, mubah, dan haram. Kekurangan metode ini adalah terlibatnya ijtihah sahabat, tabiin, ulama dengan deduksi hukum yang mereka ambil dari al Qur’an dan  hadits sedangkan mereka tidak selalu benar.[14]
D.    Tingkatan Kitab Hadits Menurut al Dihlawi
Secara umum tingkatan yang disodorkan oleh al Dihlawi sama dengan standar ulama lain.[15] Yang menarik dan berbeda adalah al Dihlawi memasukkan kitab Imam Malik, al Muwattha, sejajar dengan kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Padahal kitab ini tidak termasuk kedalam kutub sittah meski masuk kedalam kutub tis’ah.[16] Hal ini karena menurutnya al Muwattha merupakan bekal pokok bagi madzhab Maliki, pegangan Syafi’I dan Ahmad, serta pelita bagi Abu Hanifah. Hubungan madzhab-madzhab ini dengan al Muwathha tak ubahnya hubungan matan dengan kitab syarahnya sedang kitab yang lima adalah sebagai pelengkap kekurangan al Muwattha.
E.     Metode al Dihlawi dalam Mengambil Keputusan Atas Hadits yang Kontradiktif
Sebagaimana ditegaskan dalam kitab Hujjatul Balighah karangan beliau, bahwa metode yang beliau gunakan adalah al jam’u, tarjih, nasikh-mansukh, dan tawaquf. Dengan begitu metode yang digunakan al Dihlawi tidak berbeda jauh dengan para ulama lainnya.
F.      Respon Umat Islam terhadap Pemikiran Hadis al Dihlawi
Jika diklasifikasikan ada tiga kelompok umat islam yang merespon dengan cara berbeda terhadap pemikiran al Dihlawi. Yaitu;
Pertama, kelompok yang ingin menjadikan seluruh hadits sebagai hukum yang harus dan wajib dikuti. Kelompok ini kurang sepakat dengan pendapat dan pemikiran al Dihlawi.[17]
Kedua, kelompok yang sepakat dengan pemikiran al Dihlawi karena menganggap pemikirannya sangat moderat.[18]
Ketiga, kelompok yang mengasingkan sunnah dari seluruh persoalan praktis kehidupan.[19]
G.    Kritik Jauharatul Masruroh Terhadap al Dihlawi
Didalam kitabnya, al Dihlawi menyebutkan bahwa kesepakatan sebagian sahabat bukan merupakan salah satu sumber syariat. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa al Dihlawi membedakan kredibilitas sahabat. Dan membatasi hanya kepada al Khulafa Rasyidin saja. Menurut Jauharatul Masrurah hal tersebut tidak konsisten dengan peletakan kitab al Muwattha karya Imam Malik yang setara dengan shahih Bukhari dan Muslim. Karena dalam kitab al Muwattha juga memuat atsar sahabat selain khulafa Rasyidin.
H.    Kritikan Terhadap Tulisan Jauharatul Masruroh
Melihat dari tulisan saudari Jauharatul Masruroh ada beberapa kritikan yang bisa diambil. Yaitu;
Pertama, saudari Jauharatul Masruroh kurang cermat dalam mengelaborasi data. Melihat dari susunan bahasan yang disampaikan, beliau baru pada tahap “menyajikan” data mentah. Padahal data mentah tersebut jika dikaitkan dan dianalisis secara cermat akan mengungkap fakta-fakta yang lain. Selain itu juga focus dan arah penggalian informasi tentang al Dihlawi masih terlalu global. Padahal jika mengacu pada judul utama yang diangkat oleh Jauharatul Masruroh, seharusnya pembahasan lebih mengerucut terhadap wacana hadits dalam pemikiran al Dihlawi.
Kedua, peresensi masih mencoba menelisik sumber data yang diambil oleh JM. Memang jika mengacu pada footnote, keterangannya menyebutkan bahwa JM banyak mengambil data lewat salah satu kitab al Dihlawi, Hujjatul Balighah. Namun perensi merasa perlu untuk melakukan crosscheck dan konfirmasi ulang data lewat salah satu skripsi yang ditulis oleh alumni TH. Perensi mensinyalir bahwa data yang ada dalam tulisan JM dicatut secara full dari skripsi tersebut.
I.       Kritikan Peresensi Terhadap al Dihlawi
Berikut ini adalah kritikan peresensi terhadap pemikiran al Dihlawi;
Pertama, mengenai klasifikasi sunnah. al Dihlawi membagi sunnah mejadi dua; sunnah dalam kapasitas Nabi sebagai Utusan Allah dan sunnah dalam konteks Nabi sebagai manusia biasa. Klasifikasi ini menurut peresensi justru menghasilkan penilaian yang parsial terhadap Nabi. Dalam opini peresensi, kapasitas Nabi tidak bisa dipecah-pecah. Karena posisi dan peran Nabi tidak seperti baju yang bisa dilepas dan ditanggalkan. Sehingga saat Nabi berperan sebagai Rasul, pada saat itu pula Nabi melakoni peran sebagai manusia biasa.
Jadi yang perlu dilakukan untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif terhadap hadist Nabi bukanlah dengan membeda-bedakan posisi Nabi, namun lebih kepada menggali meaning pesan Nabi yang terbungkus oleh fragmen konteks. Misalnya dalam kasus kesalahan Nabi dalam pendapatnya mengenai cara pertanian anggur. Dalam kasus ini, yang kita lakukan bukanlah menganggap Nabi tengah meninggalkan posisinya sebagai Nabi karena sedang berpendapat mengenai isu pertanian. Namun justru melihatnya sebagai pembuktian sisi kemanusian diri Nabi. Bahwa seorang Nabi pun tidak selamanya benar. Pengetahuannya masih dibatasi oleh pengetahuan pada masa itu.
Kedua, mengenai tindakan al Dihlawi yang menilai ijtihad para sahabat dan tabi’in sebagai sebuah kekurangan. Peresensi justru melihatnya dari perspetif lain. Bahwa ijtihad sahabat, tabi’in, dan ulama justru sebuah bentuk “resepsi” mereka terhadap penerimaan hadits. Mereka berusaha melakukan kontekstualisasi berdasarkan bingkai masanya. Sehingga tidak tepat rasanya jika mengatakan bahwa hasil ijtihad atau penafsiran ulama klasik sebagai bentuk penafsiran kuno atau tidak relevan. Seolah-olah ijtihad mereka merupakan hasil asal-asalan. Padahal seharusnya difahami kalau ijtihad mereka sudah tepat dan relevan untuk masanya. Hanya saja konteks masa itu dan sekarang berbeda. Mereka tidak berusaha mereduksi pesan. Namun karena mereka sendiri berusaha mengkontekstualisasikan, sehingga pesan yang ada dalam hadits dibungkus ulang. Tugas saat ini adalah membuka bungkusan tersebut.


[1] Resensi atas tulisan saudari Jauharatul Masrurah dalam buku “ Yang Membela dan Yang Menggugat”
[2] Pada tahun tersebut, puncak kekuasaan dipegang oleh Kerajaan Dinasti Utsmani dibawah pimpinan Khalifah Ahmad III (1703-1730). Lihat: http://surtachi.wordpress.com/2012/05/29/masa-3-kerajaan-besar-islam/ diakses pada Pkl: 3:03 29 September 2012

[3] Efek dari pola pernikahan ayahnya yang poligami dalam pandangan peresensi, menjadi salah satu unsur yang mempengaruhi prinsip dan pola pernikahan al Dihlawi di masa depannya. Budaya masa itu yang patriarki semakin mengukuhkan adanya tradisi poligami yang kuat di masyarakat. Ditambah dengan posisi ayah al Dihlawi yang notabene seorang tokoh dimasanya sehingga mempermudah untuk melakukan poligami. Sebagaimana yang kita tahu bahwa posisi dan jabatan seseorang sangat berpengaruh dalam status sosial di masyarakat. Dengan posisi sebagai tokoh thariqat, maka sangat mudah untuk melakukan poligami.

[4] Usia 60 sebenarnya sudah tergolong usia tua pada masa ini. Namun dengan kultur poligami yang kuat, usia tidak menjadi halangan seorang laki-laki untuk menikah lagi.

[5] Perlu diketahui bahwa tiap sekte thariqat memiliki karakteristik yang beragam. Peresensi membaginya kedalam beberapa bagian: pertama, Thariqat rhesus murni. Thariqat semacam ini berdiri sendiri dan tidak bisa menyatu dengan bentuk thariqat lain. Disamping karena prinsipnya yang bertolak belakang, juga karena ritus atau ritualnya yang berbeda secara signifikan. Kedua, thariqat rhesus campuran. Thariqat ini bisa diamalkan secara ganda dengan thariqat lain yang tipenya rhesus campuran. Hal ini dikarenakan prinsip thariqat-tahriqat  ini tidak terlalu berbeda jauh baik dalam hal aturan  maupun ritual. Diantara thariqat tipe ini adalah thariqat Naqsabandiyah dan Qadiriyah. Banyak para salik dan mursyid yang mengamalkannya secara ganda. Baca juga tentang gabungan naqsabandiyah dengan qadiriyah: lihat: http://www.suryalaya.org/tqn1.html diakses pada Pkl: 3:08 29 September 2012

[6] Dari kejadian ini bisa diamati bahwa prinsip poligami yang telah diamalkan ayahnya sangat berpengaruh terhadap kehidupan al Dihlawi sendiri. Al Dihlawi harus mengikuti pola ayahnya untuk menikah di usia dini.

[7] Pengaruh ketokohan ayah al Dihlawi sangat berperan dalam proses pengenalan dunia tasawuf kepada al Dihlawi. Sehingga bisa dikatakan sang ayah berperan sebagai seorang ayah sekaligus seorang mursyid bagi al Dihlawi.

[8] Sekali lagi bukti bahwa pola poligami menurun dari sang ayah. Jika melacak dari sejarah masa itu, memang praktik poligami menjadi praktik yang paling digemari.
[9] Sebagaimana yang dikutip oleh Jauharatul Masruroh (penulis artikel) bahwa pendapat M Mujeeb tidak dapat dibuktikan sebab dalam kata pengantar terjemahnya al Dihlawi mengatakan bahwa setelah selesainya surat al Baqarah dan Ali Imran ia belum dapat melanjutkan sebab harus berangkat ke Mekkah dan Madinah. Detail lebih lengkap: Siti Masfufah “ Kodifikasi Sunnah Menurut Pemikiran Syah Waliyullah al Dihlawi” hlm 45.

[10] Kota Hijaz pada masa itu memang menjadi pusat keilmuan. Sehingga tak heran jika para penuntut ilmu berdatangan dari berbagai penjuru untuk menggali ilmu di kota ini. Banyaknya ulama yang ada di Hijaz juga berpengaruh terhadap arus pemikiran yang ada saat itu. Pemikiran dari ulama yang ada di Hijaz acapkali menjadi patokan untuk ulama di kota lain.

[11] Pengaruh-pengaruhnya akan terlihat dari pemikiran al Dihlawi mengenai hadits. Termasuk klasifikasi sunnah dlama versi beliau.

[12] Perhatian besar al Dihlawi terhadap al Muwattha, kelak akan membuat al Dihlawi memasukkan posisi kitab tersebut di puncak strata sejajar dengan Shahih Bukhari dan Muslim.

[13] Kritikan peresensi sendiri terhadap pemikiran al Dihlawi bisa ditemukan di akhir resensi ini.
[14] Mengenai kritikan peresensi terhadap metode ini bisa ditemukan di akhir resensi.

[15] Perlu diketahui bahwa tingkatan kitab hadits rata-rata menempatkan Shahih Bukhari dan Muslim di posisi tertinggi dari tingkatan hadits. Alasannya adalah karena kedua kitab ini dalam pandangan mayoritas ulama memenuhi persyaratan penerimaan hadits yang sangat selektif.

[16] Mayoritas ulama tidak memasukkan al Muwattha kedalam kutub sittah. Hanya ada beberapa yang memasukkannya ke dalam kutub tis’ah.
[17] Kelompok ini merupaka cerminan kelompok tradisionalis-tekstualis yang mengusung pemahaman tekstual terhadap nash hadits. Kelompok ini kurang setuju dengan al Dihlawi yang mengklasifikasikan hadits secara berbeda. Sedangkan dalam pandangan kelompok ini, hadits dianggap sama secara keseluruhan.

[18] Kelompok ini mewakili para Muhadditsun kontemporer yang mengambil arah aliran moderat.

[19] Kelompok ini mewaliki kelompok skeptis terhadap hadits. Yang meyakini bahwa hadits tidak bisa dijadikan acuan dan tidak bisa diakui validitasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar